081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com

“PONDOK DAMAI” BERKUNJUNG KE VIHARA TANAH PUTIH

MAGABUDHI_Semarang, 27April 2014


“Peran pemuda dalam isu keberagaman akan mewarnai secara significan wajah perdamaian di negeri ini. “Pondok Damai” adalah entitas komunitas yang di dalamnya berisi pemuda lintas agama di Jawa Tengah yang sadar akan pentingnya membudidayakan dialog antar umat beragama untuk mewujudkan perdamaian”Komunitas ini berupaya mengambil bagian untuk mewujudkan kerukunan umat beragama dengan menyelenggarakan kegiatan yang disebut “LIVE IN PONDOK DAMAI”.

Kegiatan yang sudah merupakan angkatan ke VIII diselenggarakan pd 25 s/d 27 April 2014 di Semarang

Rencana semula dimohonkan untuk diselenggarakan di Vihara Buddhagaya Watugong, namun Pengurus keberatan karena bersamaan dengan waktu tersebut ada acara. Kemudian mohon tempat di Vihara Tanah Putih, juga memperoleh alasan serupa. Akhirnya Pura Girinatha (tempat ibadah agama Hindu) bersedia meminjamkan tempat bagi sekitar 40 generasi muda melaksanakan kegiatannya.


Pada hari terakhir dilaksanakan kunjungan di berbagai tempat ibadah. Ketika datang di Vihara Tanah Putih siang hari, mereka diterima oleh Tino selaku salah seorang dayaka vihara. Kebetulan pd saat itu sedang dalam dhammasala berlangsung upacara perkawinan Agus dan Natalia yang dipimpin Pandita D. Henry Basuki dibantu upacarika Amelia.Tino punya pertimbangan keberatan bila rombongan ingin masuk dhammasala. Oleh Ninik Lesmanawati, kakak Agus, rombongan dipersilahkan mengikuti jalannya acara. Setelah acara selesai, satu persatu peserta yang dimpimpin oleh Anas Matahari selaku Ketua Panitia dan Muh.Zainal Mawahib selaku sekretaris yang sudah akrab dengan Pandita D. Henry Basuki minta keterangan tentang simbol yang terdapat dalam dhammasala serta berbagai informasi tentang agama Buddha.


Acara berlangsung penuh keakraban, diakhiri dengan photo bersama Pandita, juga bersama kedua pengantin.

Suatu kegiatan generasi muda lintas agama yang memahami indahnya perbedaan. Peserta dari generasi muda beragama Buddha ada 6 orang, antara lain Devi Oktaviani dan Lukas.

 

PROF. CHAMLONG DISAYAVANISH MENGAJARKAN MEDITASI BUDDHIS BERBASIS BUKTI DARI ILMU KESEHATAN JIWA


Sudah kita ketahui, bahwa teknik meditasi Buddhis yang dikenal sebagai “meditasi kewaspadaan penuh” atau “mindfulness meditation” atau meditasi Vipassana sudah banyak dipraktikkan dengan berbagai versinya, seperti Goenka, Mahasi Syadaw, dll. Namun agaknya baru sekali ini kita kedatangan tamu istimewa seorang guru besar ilmu kesehatan jiwa dari Chiangmai University Thailand yang juga instruktur ahli meditasi vipassana. Beliau mempraktikkan dan mengajarkan teknik meditasi “mindfulness” yang berlandaskan ilmu kesehatan jiwa atau psikologi modern Barat. Hal ini didasarkan atas hasil riset beliau yang
tertuang dalam disertasinya yang diajukan di Amerika Serikat, tentang efek meditasi Buddhis mengatasi stres dan kecemasan. Dalam artikel ini akan kita bahas tuntas dan ringkas mengenai teknik meditasi kewaspadaan penuh, didasarkan atas ilmu kesehatan jiwa seperti diajarkan Prof. Chamlong Disayavanish, MD.

Profil singkat Prof. Chamlong Disayavanish.

Prof. Chamlong Disayavanish adalah seorang dokter ahli kesehatan jiwa (psikiater) lulusan University of Illinois, Amerika Serikat, telah mendalami dan mempraktikkan ilmu kesehatan jiwa dan meditasi selama tidak kurang dari 30 tahun. Hingga kini beliau menjadi anggota dari American Psychiatrist Association. Di Universitas Chiangmai beliau selain mengajar ilmu kesehatan jiwa, juga menjadi instruktur meditasi vipassana bagi mahasiswa kedokteran yang akan naik dari tingkat satu ke tingkat dua. Ketika penulis bertemu beliau dalam
kongres International Association of Theravada Buddhist Universities tentang psikologi Buddhis di Yangon, beliau adalah salah satu undangan yang memberikan presentasi. Prof. Chamlong juga aktif menulis buku tentang ilmu kesehatan jiwa dan meditasi vipassana. Hingga kini beliau masih aktif berpraktik sebagai psikiater yang memberikan terapi bukan hanya memakai obat-obatan (medikasi), dan psikoterapi, tapi juga dengan meditasi kewaspadaan penuh. Berdasarkan pengalaman beliau, pasien dengan gangguan kejiwaan tertentu (neurosis) yang bosan makan obat bertahun-tahun, dapat dilatih meditasi hingga dapat menghentikan obat dan terbebas dari masalah kejiwaannya. Namun beliau juga
mengingatkan, ada gangguan jiwa tertentu (psikosis) yang tidak dapat atau tidak boleh berlatih meditasi sendiri, melainkan harus di bawah pengawasan instruktur yang profesional. Beliau berkunjung ke Indonesia antara tanggal 9 hingga 16 Februari 2014 atas undangan STAB Nalanda. Namun kepakaran beliau telah pula menarik minat para dokter spesialis kesehatan jiwa Indonesia, sehingga pada tanggal 13 dan 14 Februari Prof. Chamlong diminta memberikan presentasi dan workshop tentang meditasi “mindfulness” di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, khusus untuk kalangan kedokteran di FKUI/RSCM. Ternyata yang hadir cukup banyak dan pertanyaan pun berlimpah tentang topik yang dibawakannya. Psikologi Buddhis selaras dengan psikologi modern.

Sesuai prinsip ehipassiko, Guru Agung Buddha telah menitahkan dalam Kalama Sutta, agar jangan percaya begitu saja pada apa yang dikatakan guru ataupun kitab suci sekalipun. Tapi buktikanlah, jika hal tersebut bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, tidak dicela oleh orang bijak, maka layaklah itu dipraktikkan. Jika sebaliknya, tentu tidak layak dipraktikkan. Meditasi vipassana sebagai ajaran khas Buddha pun tidak terkecualikan, perlu dikaji dan dibuktikan kebenaran dan kelayakannya. Itulah yang dilakukan Prof. Chamlong Disayavanish. Beliau membandingkan konsep “mind” atau pikiran menurut Sigmund Freud, dengan konsep pikiran menurut psikologi Buddhis. Kalau menurut Freud, pikiran dapat diibaratkan dengan gunung es yang terapung di samudra luas. Bagian yang terlihat di permukaan laut hanyalah sebagian kecil, sisanya sebagian besar terbenam di bawah lautan. Menurut Freud, pikiran dapat dibagi menjadi tiga bagian: sadar (the conscious), prasadar (the preconscious) dan nirsadar (the unconscious; atau disebut jugathe subconscious).

Pikiran sadar adalah segala yang dapat kita cerap melalui panca-indera kita, yaitu melalui
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penghiduan, dan perabaan. Sedangkan
prasadar adalah yang tidak kita sadari, tapi kalau ditanya, kita dapat menjawab atau menyadarinya. Misalnya ditanya tentang tempat dan tanggal lahir, nomor telepon, nama ibu dan ayah, dan sebagainya, kita dapat menjawabnya. Bagian ketiga, nirsadar adalah yang tidak dapat kita ingat atau sadari. Bagian ini berisi ingatan masa anak, masa remaja, dorongan emosi, ambisi, seksual, kedongkolan, trauma psikis, dan lainnya. Bagian ini walaupun tidak disadari, tapi sewaktu-waktu dapat mempengaruhi pikiran sadar. Maka kadang kala kita sekonyong-konyong dapat merasa kesal atau cemas atau dongkol tanpa sebab yang jelas, atau kadang ada orang yang merasa ingin melakukan sesuatu yang aneh, seperti mencuri, merampas, bunuh diri, dll. tanpa penyebab yang jelas, padahal
sesungguhnya itu berasal dari alam pikiran bawah sadarnya. Alam pikiran bawah sadar yang merupakan gudang penuh “misteri” dan “kekotoran batin” ini dapat dibersihkan hanya melalui teknik meditasi “mindfulness”. Menurut ilmu jiwa Buddhis, pikiran disebut sebagai “citta” atau “vinnana”, ungkap Prof. Chamlong. “Pikiran (Nama) adalah kondisi atau fenomena mental yang mampu mengenali suatu objek (arammana)”, sambungnya. Arammana berarti objek indera eksternal, meliputi objek penglihatan, bunyi, bau-bauan, citarasa, sentuhan dan objek pikiran. Pikiran bermanifestasi dalam dua level, yaitu “vithi citta” (pikiran aktif) dan “bhavanga citta” (pikiran pasif, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “life continuum” atau kelanjutan hidup). “Vithi citta” setara dengan pikiran sadar dan prasadar menurut Freud seperti diulas di atas, yaitu pikiran yang mampu mengenali diri sendiri, perbuatan sendiri, dan reaksi terhadap rangsangan dari lingkungan. Lihat tabel berikut untuk membandingkan konsep Buddhis dan konsep psikologi Freud.
Tabel 1.

Perbandingan konsep psikologi Buddhis dan psikologi Freud.
Psikologi Buddhis Psikologi Freud

Vithi Citta (pikiran aktif):
Kesadaran mata (objek yang terlihat)
Kesadaran telinga (bunyi yang terdengar)
Kesadaran lidah (rasa yang terkecap)
Kesadaran hidung (bau yang tercium)
Kesadaran badan (objek yang tersentuh)

The conscious (pikiran sadar)
Kesadaran pikiran (objek yang terpikir) The preconscious (pikiran prasadar) Bhavanga Citta (pikiran pasif, kelanjutan hidup) The unconscious/ subconscious (pikiran nirsadar) Bhavanga Citta: lebih luas dari nirsadar.

Bhavanga Citta (BC)

merupakan simpanan tersembunyi dari berbagai kesan dan ingatan pikiran serta muatan lain yang tidak disadari keberadaannya oleh seseorang. BC serupa tapi tidak sama dengan pikiran nirsadar/bawah sadar dalam ilmu jiwa Barat/ Freud. BC lebih luas dari pikiran nirsadar, misalnya BC bekerja selama seseorang tertidur atau tidak sadarkan diri. Fungsi utama dari BC adalah menjaga dan merawat kehidupan seseorang (“bhava” berarti eksistensi, “anga” berarti faktor). Tanpa BC, seseorang tak dapat hidup. Cukup menarik, bahwa BC dapat timbul di antara Vithi Citta saat ini dan berikutnya, BC dapat timbul dalam waktu yang sangat singkat, di antara satu siklus pikiran (muncul, bertahan, dan lenyapnya pikiran) dan pikiran berikutnya.

Dalam Buddhisme Mahayana dikenal juga dengan sebutan “Alayavinnana”, atau gudang pikiran atau nirsadar. Meditasi membersihkan “kekotoran mental”. Tujuan kita mempelajari pikiran, tentulah untuk mencapai sasaran menemukan cara efektif melatih pikiran supaya sehat, bahagia, bebas dari stres, amarah, kedongkolan, kegelisahan, iri hati, dorongan nafsu yang mencemaskan, yang secara keseluruhan kita sebut “kekotoran batin/mental”. Menurut pakar ilmu kesehatan jiwa dan meditasi Prof. Chamlong, gudang besar dari kekotoran mental terletak di alam bawah sadar yang disebut Bhvanga Citta (BC) seperti diuraikan di atas. Lantas, bagaimanakah kita dapat mencapai alam BC itu untuk dapat membersihkannya?

Jawaban beliau tegas dan singkat, hanya melalui meditasi “mindfulness” (kewaspadaan penuh). Berikut kita ulas secara ringkas metodenya. Seperti kita ketahui, meditasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu meditasi konsentrasi (Samatha) dan meditasi kewaspadaan penuh (Vipassana). Meditasi konsentrasi hanya bertujuan pada ketenangan dan kestabilan mental. Objek konsentrasinya adalah realita konvensional, seperti konsentrasi pada mantra/doa, suara, cakra/bagian tubuh, figur luhur, lilin, napas, dll. Meditasi kewaspadaan penuh bertujuan pada mencapai kebijaksanaan mental (panna), pencerahan spiritual, menyadari penuh sifat universal perubahan dan ketidakkekalan serta ketiadaan ego. Pada akhirnya mencapai kebebasan total dari penderitaan (Nibbana). Objek meditasinya adalah realita hakiki, yang disebut Nama (mentalitas, psikis) dan Rupa (materialitas, fisik), atau fenomena psikofisikal. Untuk membedakan realita konvensional dan realita hakiki, Lihat tabel-2 berikut.
Tabel-2. Realita objek meditasi.

Realita hakiki Realita konvensional
Objek visual (bentuk) Hewan, manusia, dll.
Objek auditorik (bunyi) Bunyi musik, keributan, dll.
Objek penciuman (bau) Wangi makanan, bau sampah, dll.
Objek pencicipan (citarasa) Makanan enak, tidak enak, dll.
Objek sentuhan (dingin, panas, lembut, keras, longgar, tegang, bergerak) Udara dingin, kapas lembut, alas keras, kaki yang sedang berjalan, dll.
Objek pikiran (berpikir, imajinasi, refleksi) Berpikir tentang kerja, uang, keluarga, dll.

Jadi jelaslah bahwa melihat atau mengamati hal yang sama tapi apa yang dicatat dalam pikiran yang membedakan apakah itu meditasi vipassana kesadaran penuh ataukah konsentrasi biasa untuk ketenangan. Misalnya kalau mendengar musik, kalau tidak menikmatinya atau mengasosiasikan denganpenyanyinya dll. itulah meditasi vipassana, hanya mendengar ada bunyi, yangtimbul, kalau diperhatikan terus, suatu saat lalu akan lenyap. Demikian pulamelihat suatu objek hanya melihat ada objek, tidak memperhatikan baik burukatau karakteristik fisik lainnya. Misalnya memperhatikan gerakan perut waktu
bernapas, kalau pada vipassana maka perhatian pada gerakan naik turun saja sebagai objek hakiki, bukan pada dinding perutnya yang merupakan objek duniawi. Demikian secara ringkas tentang meditasi kewaspadaan penuh. Semoga membawa kebahagiaan bagi semua. (ditulis oleh dr. Willie Japaries, email: japariesw@yahoo.com; Hp: 0816908022).

Keluarkan Pernyataan Resmi, Sangha Theravada Indonesia Nyatakan Tidak Ada Kerjasama dengan Dhammakaya

Sutar Sumitro, BuddhaZine
Masuknya gerakan Dhammakaya yang berisi beberapa ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok Agama Buddha khususnya tradisi Theravāda, sehingga menyebabkan kebingungan umat Buddha, Saṅgha Theravāda Indonesia mengeluarkan pernyataan singkatnya terkait masalah ini.

Komunitas para bhikkhu yang tergabung dalam Saṅgha Theravāda Indonesia (STI) memberikan pernyataan sikapnya mengenai masuknya ajaran Dhammakaya asal Thailand yang mengajarkan beberapa ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok Agama Buddha.

Dalam pernyataan singkat STI nomor 045/STI/XI/2013 yang ditandatangani oleh Y. M. Bhikkhu Jotidhammo Mahāthera sebagai Ketua Umum (Saṅghanāyaka), pada Sabtu, 23 November 2013 yang lalu di Bekasi, menyatakan bahwa Saṅgha Theravāda Indonesia tidak ada kerjasama dengan Dharmakaya dalam hal apa pun.

Dengan pernyataan ini STI memberitahukan dan menegaskan kepada masyarakat umum, khususnya umat Buddha di Indonesia bahwa apa pun yang dilakukan, dikerjakan, dan diselenggarakan oleh kelompok gerakan Dhammakaya tidak ada kaitannya dengan Saṅgha Theravāda Indonesia.

Pada dasarnya, Dhammakaya sendiri bukan merupakan sebuah aliran atau sekte tersendiri, tetapi merupakan bagian dari tradisi Mahanikaya, salah satu tradisi Theravāda di Thailand.

Dhammakaya merupakan gerakan komunitas di Wat Phra Dhammakāya, sebuah vihara (wat) di Thailand, yang berdasarkan pada ajaran rahasia “Vijja Dhammakaya” yang diciptakan oleh Phra Monkhol-thep-muni (Soth Chandasaro), mendiang kepala Wat Paknam Bhasicharoen yang mengklaim dirinya sebagai utusan Phra Ton-thād (Buddha Awal/Asli) untuk menghancurkan para Māra. Namun setelah Phra Monkhol-thep-muni meninggal dunia pada 3 Februari 1952, Phra Chaiboon Dhammajayo, pemimpin Wat Phra Dhammakāya, mengklaim dirinyalah yang merupakan titisan (avatar) Phra Ton Thād yang mengutus Phra Monkhol-thep-muni.

Berdasarkan sebuah artikel dalam Journal of Buddhist Ethics Volume 19, 2012 berjudul Ajaran Esoterik dari Wat Phra Dhammakaya (Esoteric Teaching of Wat Phra Dhammakāya) oleh Mano Mettanando Laohavanich yang merupakan mantan seorang bhikkhu (Bhikkhu Mettanando) yang pernah menjadi salah satu pimpinan administrasi di Wat Phra Dhammakāya. Dhammakaya mengklaim bahwa Nibbāna bukan tujuan terakhir dari kehidupan dan hanyalah sebuah alam yang diciptakan oleh Phra Ton Thād. Hal ini berbeda dengan apa yang diajarkan Agama Buddha pada umumnya yang menyatakan bahwa Nibbāna adalah tujuan akhir dan bukanlah suatu alam serta tidak diciptakan oleh siapa pun.

Mettanando menjelaskan dalam artikel tersebut bahwa berbeda dengan anggota aliran-aliran Buddhis lain di Thailand, yang dilatih untuk rendah hati, melepaskan diri dari fenomena masyarakat, dan selalu siap untuk melepas segala penderitaan dan kesakitan dalam hidup, para pengikut Wat Phra Dhammakāya dilatih untuk berbangga akan diri sendiri dan mengorbankan segala sesuatu dalam hidup mereka bagi para pemimpin mereka dan tujuan dari wat (vihara) tersebut.

Dhammakaya secara kasat mata dapat dikenali dengan ritual-ritual mereka yang berskala besar yang terorganisir rapi dan melibatkan massa yang besar dengan konfigurasi-konfigurasi tertentu, mengenakan baju putih bagi umat awamnya dan jubah berwarna oranye bagi jubah bhikkhunya.

Adanya indikasi pengkultusan individu terhadap pimpinan gerakan Dhammakaya, beberapa ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok Agama Buddha dan bersifat rahasia, merupakan alasan yang cukup kuat bagi berbagai kalangan umat Buddha di Indonesia untuk mewaspadai pengaruh gerakan ini terutama bagi kalangan muda seperti pelajar dan mahasiswa serta para umat awam pemula. (BuddhaZine.com)