081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com

Ajaran Dhammakaya yang Kontroversial

Komunitas Buddhis di Indonesia belakangan ini sedang dihangatkan oleh kehadiran sebuah tradisi agama Buddha dari Thailand yang kontoversial: Dhammakaya.

Siapa sih Dhammakaya dan kenapa menimbulkan kontroversi?

Penjelasan tentang Dhammakaya yang paling menjadi rujukan adalah tulisan Mano Mettanando Laohavanich yang dimuat pada Journal of Buddhist Ethics volume 19 tahun 2012 dengan judul Esoteric Teaching of Wat Phra Dhammakaya. Mettanando adalah mantan bhikkhu yang ikut mendirikan Dhammakaya. Ia pernah tinggal cukup lama di Wat Phra Dhammakaya, vihara terbesar di dunia yang berbentuk piring terbang di utara Bangkok, sekitar 20 tahun. Kini ia menjadi dosen di Thammasat University.

Tidak sulit untuk mengenali Dhammakaya. Jika Anda melihat foto pabajja atau pindapatta dengan jumlah peserta sangat banyak namun tertata rapi dan biasanya membentuk sebuah konfigurasi, dan memakai jubah kuning cenderung orange dengan bahu kanan terbuka, bisa dipastikan itulah Dhammakaya.

Kebanyakan orang yang baru kenal Dhammakaya, terkesan oleh kerapian, kedisiplinan yang tinggi, upacara-upacara yang terorganisir dengan baik, serta publikasi dengan kualitas profesional, yang kontras dengan kebanyakan aliran Buddhis lain yang agak tidak terorganisir dengan baik dan dengan pengelolaan yang amatir.

Menurut catatan Mettanando, dalam waktu tiga dekade terakhir, Dhammakaya telah memiliki jutaan pengikut, baik di Thailand sendiri maupun di lebih dari 40 cabang di luar Thailand, termasuk yang berasal dari kalangan intelektual, para pemuda dan mahasiswa yang mengorbankan hidup mereka demi melayani gurunya, di bawah kepemimpinan Phra Chaiboon Dhammajayo, yang ditahbiskan tahun 1969.

Tidak seperti komunitas Buddhis lain di Thailand, dimana ajaran guru tetap terbuka untuk umum, ajaran Dhammakaya dibangun di atas lingkaran ajaran rahasia “Vijja Dhammakaya”, yang disusun oleh mendiang kepala vihara sebelumnya, Phra Monkhol-thep-muni.

Phra Monkhol-thep-muni menemukan Dhammakaya pada suatu hari bulan purnama saat pertengahan masa vassa tahun 1916 yang dikatakannya memungkinkan untuk membawa kembali ajaran asli Sang Buddha, yang disebut “Vijja Dhammakaya”. Menurut deskripsinya, sebuah bola kristal terang yang dia lihat saat meditasi pada dini hari itu mengantarkan kesadarannya lebih lanjut ke arah dalam, dan setelah melewati lapisan-lapisan tubuh yang halus di bagian dalam, satu di dalam yang lain, dia menemukan Tubuh Pencerahan Buddha.

Nibbana, menurut Phra Monkhol-thep-muni, adalah sebuah alam tempat tinggal, sebuah bundaran kristal raksasa dengan diameter 141.330.000 yojana dan sebuah cangkang yang mengelilinginya yang berdiameter 15.120.000 yojana. Tepi bawah dari Nibbana berada di atas Triloka dengan ketinggian tiga kali diameter Triloka. Nibbana hanya dihuni oleh Dhammakaya para Buddha masa lampau, saat ini, dan masa depan.

Merasa yakin akan pengalaman spiritualnya, ia mengadakan retret meditasi yang tertutup untuk umum, eksklusif bagi para siswa lanjutan yang telah mencapai Dhammakaya. Dari khotbah-khotbah Phra Monkhul-thep-muni yang dipublikasikan, sangat jelas bahwa dia menganggap dirinya sebagai yang diutus ke dunia untuk menghancurkan para mara; diutus oleh Phra-Ton-thad, pencipta Nibbana, surga, dan bumi.

Menurut Phra Dhammajayo, almarhum Kepala Vihara Wat Paknam Bhasicharoen mempercayai bahwa Hitler pada hakikatnya adalah orang baik, yang kemenangannya di Perang Dunia II akan mendatangkan kebaikan bagi dunia, Buddhisme, dan aliran meditasi Dhammakaya. Lebih lanjut, Phra Dhammajayo menjelaskan bahwa Hitler adalah bagian dari gelombang reinkarnasi besar para Dhammakaya dari Nibbana Cahaya yang diutus oleh Phra-Ton-thad.

Tidak seorang pun yang berani membantah ajaran Kepala Vihara tersebut secara terbuka. Komunitas itu ingat betul kasus Phra Viriyasako, salah satu pendiri Wat Phra Dhammakaya, yang dihormati sebagai bhikkhu nomor tiga yang paling berkuasa di komunitas itu. Pada tahun 1986, dia bangkit dan mengecam Kepala Vihara sehubungan dengan ajarannya dan korupsi di dalam kepengurusannya. Hasilnya adalah dia dan dua bhikkhu baru langsung dikucilkan dari vihara dan diasingkan di Wat Pak Nam Bhasicharoen. Akibat lain adalah, sebuah aturan komunitas yang keras diberlakukan bahwa setiap orang yang terdengar mengkritik Kepala Vihara atas dasar apa pun akan segera diusir, bahkan walaupun tuduhan itu hanya didukung oleh seorang saksi. Sekali lagi, Phra Dhammajayo menang dan membersihkan jalannya menuju kendali yang absolut atas komunitas.

Setidaknya ada 11 hal yang membuat Dhammakaya berbeda dengan agama Buddha pada umumnya:

  1. Wat Phra Dhammakaya dinyatakan sebagai sumber pahala terbesar.
  2. Nibbana adalah suatu alam, suatu lapisan bola kristal raksasa yang berkilau, tempat berdiam Dhammakaya dari semua Buddha.
  3. Nibbana bukan tujuan akhir. Dengan pengetahuan Dhammakaya, sang diri sejati dari setiap orang, ada suatu tempat yang lebih tinggi dan superior daripada Nibbana.
  4. Adanya sosok Phra Ton Thad (Tuhan) sebagai pencipta Nibbana, surga, dan bumi, juga semua Dhammakaya Cahaya.
  5. Adanya Dhammakaya Kegelapan yaitu mara, yang merupakan lawan dari Dhammakaya Cahaya.
  6. Adanya perang kosmik antara kekuatan gelap (mara) dan Phra Ton Thad.
  7. Penemu meditasi Dhammakaya, Phra Monkhol-thep-muni (Kepala Wat Pak Nam Bhasicharoen) menyatakan dirinya sebagai penemu kembali ajaran murni Buddha, yaitu Vijja Dhammakaya.
  8. Phra Monkhol-thep-muni dikirim Phra Ton Thad ke dunia ini untuk membasmi mara.
  9. Phra Dhammajayo (Kepala Wat Phra Dhammakaya) menyatakan dirinya sebagai reinkarnasi Phra Ton Thad (Tuhan) yang menugaskan Phra Monkhol-thep-muni untuk berperang dengan mara.
  10. Awal semesta ini adalah kekosongan. Tiba-tiba, muncul Dhammakaya yang sangat terang, yaitu Phra Thon Tad. Hampir bersamaan, Dhammakaya Kegelapan muncul. Juga muncul Dhammakaya dengan warna mengkilap. Tiga Dhammakaya ini adalah asal usul pertama dari semuanya. Ketiganya menggandakan diri dan berusaha saling menaklukkan.
  11. Pasukan Dhammakaya Cahaya dibagi menjadi 4: Prajurit (berperang melawan mara), Mualim (menyebarkan Vijja Dhammakaya), Pembangun (membangun struktur bangunan untuk pasukan), dan Pemasok (mendanai misi).

Meskipun memiliki pengikut dalam jumlah banyak, namun Dhammakaya bukanlah suatu mazhab tersendiri. Menurut Sekjen Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) Bhikkhu Dhammakaro, “Dhammakaya di Thailand itu ternyata hanya salah satu vihara yang cukup besar dan didukung dana (yang besar), bukan suatu mazhab atau ordo.” Dhammakaya merupakan bagian dari ordo Mahanike.

Ternyata kontroversi terhadap kehadiran Dhammakaya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara asalnya Thailand. “Di Thailand di radio tiap hari ada perbincangan tentang Dhammakaya, di sana juga jadi kontroversi,” ujar Bhikkhu Dhammakaro. Namun karena pengaruhnya yang kuat hingga ke pemerintahan, akhirnya ruang gerak mereka menjadi leluasa.

Organisasi sejenis Dhammakaya ini sebenarnya pernah ada di Thailand ratusan tahun lalu, dan kini muncul lagi dengan nama baru. “Tapi kali ini lebih agresif dan strict dengan pandangannya, dengan didukung oleh ekonomi yang kuat,” jelas Bhikkhu Dhammakaro.

Di Indonesia, Dhammakaya saat ini sedang mengadakan pabajja samanera bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya, Serpong, Tangerang tanggal 20 Desember 2013 sampai 1 Januari 2014. Ini adalah untuk kedua kalinya. Selain itu, Dhammakaya juga telah mendirikan sebuah center di Tangerang, yang seperti diketahui merupakan kantong umat Buddha tradisi Theravada. Dhammakaya juga dikabarkan berusaha masuk ke Temanggung, Jawa Tengah yang juga merupakan salah satu kantong utama umat Buddha di Indonesia.

Sejumlah orang khawatir dengan kehadiran Dhammakaya ini karena agresif menggaet umat, dan terutama karena dianggap memiliki ajaran yang berbeda dengan agama Buddha pada umumnya. Menanggapi adanya sejumlah kekhawatiran tersebut, KASI melalui badan Dhammaniyoga –sejenis badan fatwa– sedang mempelajarinya. “Kalau memang tidak sesuai dengan Buddhis, kita akan sampaikan (ke umat),” jelas Bhikkhu Dhammakaro.

Sementara itu Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia Bhikkhu Jotidhammo menganggap adanya kultus individu terhadap pimpinan Wat Phra Dhammakaya. Ia berharap agar Dhammakaya tidak merekrut umat-umat yang sudah di bawah binaan Sangha yang ada. “Karena umat Buddha sudah masuk dalam binaan Sangha Theravada Indonesia, Sangha Agung Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia, jangan masuk ke situ lagi,” harap Bhikkhu Jotidhammo. (  )

Sentuhan PP MAGABUDHI Ke Temanggung sebagai sambung rasa sesama saudara

MAGABUDHI_ Desember 2013
Sebagai ungkapan rasa persaudaraan yang tulus seperti yang tertuang dalam Etika Pandita MAGABUDHI dimana akan selalu memperlakukan sesama anggota atau pandita sebagai saudara kandung sendiri, PP MAGABUDHI melakukan lawatan/kunjungan ke Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Temanggung. Hal ini sudah tentu menjadikan hubungan persaudaraan semakin erat dan merupakan anjangsana guna mengetahui keadaan dan kondisi sesama saudara sendiri. Lawatan yang dilakukan ini juga untuk memberikan dorongan dan motivasi kepada saudara-saudara di Jawa Tengah, khususnya di Temanggung untuk tetap memiliki semangat dan integritas pengabdian yang tulus demi kemajuan Buddha-Dhamma khususnya maszab Theravada di Temanggung. Seperti nampak dalam sambung Rasa antara PP yang diwakili oleh Rm. Pdt. Soerto Widji Lestari selaku Wakil Ketua II PP MAGABUDHI dan PD MAGABUDHI yang lasung diwakili oleh Rm PMy. Warto Aggadhamo bersama umat Buddha Kec. Jumo, pada hari Kamis, 19 Desember 2013. Tentunya lawatan ini tidak berhenti sampai disitu, berbagai kendala hampatan dan rintangan dalam pengabdian di daerah Temanggung dan Jawa Tengah pada umumnya sedikit-demi sedikit bisa teratasi sehingga Buddha-Dhamma di Temanggung, semakin jaya seperti cita-cita leluhur dikala itu. Dan yang terlebih lagi sambung rasa ini kalau berkenan dilakukan dalam periode-periode tertentu sehingga menambah semangat dan motivasi yang lebih.

Berbagi cerita Dhammayatra di Vihara Mettadipa Arama

MAGABUDHI, Desember 2013
Sebagai bentuk ungkapan kebahagiaan yang tidak terhingga ketiga mengunjungi tempat-tempat suci dalam kehidupan Sang Buddha, Rm.PMd. Meta Suripto (Viriyanando) pada hari Sabtu, 7 Desember 2013 berbagi cerita tentang Dharmayatra India dengan umat Vihara Mettadipa Arama Giling. Hal ini dimaksudkan agar memberikan informasi kepada umat bahwa Siddharta atau Sang Buddha adalah legenda hidup yang memang memiliki bukti sejarah valid dan patut diyakini, disamping itu juga memberikan motivasi dan keyakinan kepada umat Buddha khususnya di vihara tersebut.
Pada hari berikutnya yaitu pada Minggu, 8 Desember 2013 dilanjutkan dengan kerja bakti bersih2 halaman Vihara Mettadipa Arama Giling – Gn wungkal tersebut, sebagai bentuk rasa bhakti dan memiliki vihara tersebut, sehingga nyaman untuk melakukan ritual puja dan bhakti.
Dan seperti biasa rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan Pertemuan Kemis Legi MAGABUDHI PC Kab. Pati di Vihara Asoka Maura Mbambang Cluwak- Pati.

Langenswara Badrasanti kidung seni kehidupan

Seni adalah Ekspresi dari pemikiran, perasaan, luapan emosi dan jiwa seseorang yang dituangkan dalam banyak bentuk baik suara, gerak dan lain sebagainya yang sarat akan keindahan dan makna.
Seni suara, tak bisa dilihat hanya bisa didengar, memadukan harmonisasi nada-nada untuk dilantunkan, menghibur dan dapat menyentuh pendengarnya. Semoga dapat menyirami hati yang kering dengan irama-irama indah kehidupan.
Seperti halnya, beberapa waktu yang lalu diadakan Pementasan Langenswara BADRASANTI untuk memenuhi undangan/permintaan pihak Gereja Isa Almasih Semarang untuk mengisi acara KIDUNG DAMAI 3. Pementasan yang dilaksanakan pada Selasa, 29 Oktober 2013, pukul 18:00 – 23:00 WIB, di Halaman Gereja ISA ALMASIH, Jl. Pringgading 13– Semarang, telah memberikan makna dengan lantunan merdu “puisi” kehidupan yang sarat akan filosofi “laku” hidup.
Pagelaran atau pementasan yang diambil dari Kitab Badrasanti berisi ajaran agama Buddha (Buddha Dharma) yang ditulis dalam bentuk “sekar” (puisi Jawa) oleh mPu Santibadra, pemuka masyarakat pada abad ke XV yang beragama Buddha. Beliau yang menjabat sebagai Bupati Tuban kala itu, setelah purna tugas melakukan laku spiiritual dan menulis syair dalam bentuk “pangkur lamba”. Beliau menguraikan Buddha Dharma dalam nuansa masyarakat akar rumput. Ternyata syair syair yang ditulis menjadi pegangan masyarakat Jawa yang beragama Buddha, dilantunkan dalam setiap perhelatan dengan menggunakan gamelan.
Umat Buddha yang hidup dalam keterikatan Budaya Jawa banyak yang menggunakan isi kitab Badrasanti sebagai petuah, bahkan sebagai wejangan menjelang tidur bagi anak-anak. Usaha memelihara keberadaannya dibentuk “Langenswara Badrasanti” di Kabupaten Temanggung, mengisi perhelatan umat Buddha dengan peralatan musik gamelan sederhana.
Demikian BADRASANTI sebagai Seni kehidupan adalah bagaimana merubah dan menata hidup ini dengan keindahan, dimulai dari seni melatih diri, melatih untuk merubah diri ke arah yg lebih positif bermanfaat dan dapat dirasakan oleh semua orang.
Seni kehidupan dilandasi dengan pengembangan kematangan pola berpikir dan cara memandang terhadap sesuatunya. Sehingga kita mampu memberi sentuhan, goresan, dan kenangan terindah bagi hidup ini.
Yang mengubah paradigma dan pola berpikir yang salah, menjadi tepat sasaran, dan bermanfaat.

Dhammaduta KBTI Jawa Tengah akan terbitkan Buku Panduan Aṭṭhasīla

Kabar gembira!
Program dhammaduta KBTI Jawa Tengah yang dicetuskan guna membantu KBTI Jawa Tengah satu tahun yang lalu yang dimaksutkan guna mendata vihara dan umat Buddha Theravada di Jawa Tengah, mengorganisir kegiatan, memetakan wilayah dan meratakan pembinaan di Jawa Tengah yang wilayah binaannya sangat luas ini. Segera akan menerbitkan “Buku Panduan Aṭṭhasīla”.
Buku tersebut yang tepatnya akan terbit tanggal 15 Desember 2013, dimaksudkan untuk menunjang kegiatan dan memberikan pengetahuan yang benar kepada umat Buddha Theravada khususya di Jawa Tengah.
Buku ini menjelaskan:

– Sejarah munculnya hari Uposatha,
– Hal-hal yang harus dilaksanakan pada hari Uposatha termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan 8 sīla (aṭṭhasīla),
– Penjelasan masing-masing sīla dari aṭṭhasīla,
– Beberapa ketentuan teknis pelaksanaan aṭṭhasīla,
– Dan manfaat aṭṭhasīla.

 

Dalam edisi pertama ini, buku akan dibagikan secara GRATIS. Untuk itu, bagi Bapak/Ibu dan teman-teman se-Dhamma yang ingin berpartisipasi dalam pendanaan penerbitan buku ini, dapat menghubungi Dhammaduta KBTI JAWA TENGAH dengan alamat berikut ini :
Vihara Tanah Putih: Jl. Dr. Wahidin No. 12,Semarang Dammmaduta KBTI Jawa Tengah,dhammaduta.jawatengah@yahoo.com. 24E94C50
(024) 8315169. (024) 8503650.081908626445 / 081228371515

 

Dhammaduta KBTI Jawa Tengah juga menerima pencetakan ulang buku ini dengan tujuan pelimpahan jasa. Nama-nama almarhum/almarhumah akan kami cantumkan di halaman belakang dari buku yang akan diterbitkan untuk edisi selanjutnya.

 

SEMOGA BUKU PANDUAN AṬṬHASĪLA INI DAPAT MENINGKATKAN SEMANGAT KITA BERSAMA DALAM MELAKSANAKAN AṬṬHASĪLA.

Catatan Singkat ber Dhammayatta ke India dan Nepal Oleh PMy. Gunawan Sutardi

29 oktober – 7 November 2013
Pada hari itu, Selasa 29 Oktober 2013 cuaca Jakarta agak terik. Saya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta menggunakan taxi dari Emporium Pluit Mall, di mana sebelumnya diantar oleh Bajaj dari rumah, karena untuk mendapatkan taxi dari rumah harus memerlukan waktu.

Kira-kira jam 12.00 saya tiba di terminal pemberangkatan 2D luar negeri,di mana sebelumnya sudah diberitakan via sms oleh Bapak Suhardiman selaku Panitia Dharmayatra dari Yayasan Hadaya Vatthu. Setelah memberitahukan kehadiran, sambil menunggu peserta yang belum datang, kami menunggu beberapa saat sebelum masuk ke dalam Bandara.

Setelah melewati beberapa tahapan di dalam Bandara seperti : bagasi, pengecekan oleh petugas imigrasi,serta pengecekan keseluruhan barang-barang yang dibawa secara hand carrier, kami menunggu beberapa saat sebelum diberitahukan bahwa Airline yang kami gunakan yakni Mihin Lanka dengan kode penerbangan MJ 604 dimana jadwal keberangkatan jam 14.30 dari Bandara Soekarno Hatta ditunda 30 menit, karena keterlambatan kedatangan pesawat. Sekitar jam 15.00, kami penumpang pesawat Air Bus A320 Mihin Lanka dipersilahkan naik ke pesawat.

Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Bandaranaike International Airport Colombo ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih 4 jam menyusuri tepi pantai kepulauan Sumatera dan kira-kira rombongan tiba di Bandara Bandaranaike International Airport Colombo jam 18.30 waktu setempat, dimana perbedaan waktu antara Jakarta dengan Colombo 1 ½ jam.

Sepintas Bandara Bandaranaike International Airport Colombo seperti Bandara Soekarno Hatta, Cuma tidak seramai Bandara Soekarno Hatta baik pesawat maupun penumpangnya. Kami dijemput oleh Bus yang membawa kami menuju penginapan Camelot Beach Hotel di daerah Negombo, Colombo. Acara selanjutnya makan-makan dan perkenalan.

Pada hari ke 2 (30 Oktober ’13)

Setelah beristirahat di malam hari, kami mendapatkan sarapan pagi yang disediakan oleh Panitia. Agak santai kami berada di hotel, karena jadwal acara sampai siang hari hanya check-in di Bandara Bandaranaike International Airport untuk menuju Varanasi setelah tertunda 1 jam, karena bus penjemput belum datang, akhirnya pada saatnya kami bisa melanjutkan penerbangan ke Varanasi pada waktunya Jam 14.45 waktu setempat. Sekilas di sepanjang perjalanan dari hotel – Airport, kami melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Colombo tidak sesibuk di kota-kota besar di Indonesia.

Sekitar jam 18.00 waktu setempat, kami tiba di Varanasi (India). Menurut informasi yang kami dengar dari Tour Leader yang menyertai perjalanan kami, Varanasi adalah nama sebutan tempat yang biasa diucapkan oleh umat Hindu, sedangkan Benares yang biasa disebut oleh umat Buddha. Kata Varanasi berasal dari nama 2 sungai yang berada di tempat tersebut yaitu Sungai Varuna dan Sungai Asi.

Penduduk kota Varanasi berjumlah 3 juta jiwa, dimana 80% penduduknya beragama Hindu pengikut Dewa Siwa dan sisanya campuran beragama Buddha, Katholik dan Muslim. Menurut Tour Leader kami, Varanasi merupakan salah satu dari 4 kota tertua di dunia selain Beijing, Jerusalem dan Mesir.

Setibanya kami di kota Varanasi (Benares), rombongan langsung menuju Sungai Gangga yang merupakan sungai tertua di dunia dan dihormati terutama oleh Umat Hindu. Pada malam hari itu, kami melihat upacara kremasi jasad di beberapa tempat di pesisir kanan Sungai Gangga yang kami lalui. Setelah melakukan ritual melepas persembahan di Sungai Gangga berupa lilin (Saya tidak ikut ritual tersebut, karena dapat mengotori Sungai Gangga dan saya hanya melakukan pelimpahan jasa) rombongan kembali ke tempat semula dengan melanjutkan perjalanan ke Wat Thai Sarnath, tempat kami makan malam dan menginap.

Pada hari ke-3 (31 Oktober ’13)

Di hari ke 3, pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan sarapan. Sehabis sarapan kami berjalan-jalan di area Vihara (Wat) dan masuk ke dalam Dhammasala, dimana terdapat 3-4 Bhikkhu sedang melantunkan paritta, kami mengikuti dengan mengambil tempat duduk beberapa meter di belakang para Bhikkhu. Sehabis puja bakti kami beramah tamah sejenak dengan salah satu Bhikkhu dan kebetulan diantara kami ada yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Thailand, karena pernah tinggal di Thailand selama 4 tahun, yaitu Romo Suyanto dari Bandung.

Dari Dhammasala, kami melihat-lihat pada area lainnya, tepatnya kami mengunjungi patung Buddha Gotama dalam posisi berdiri. Patung tersebut teramat Agung bagi kami. Namo Buddhaya, demikian kami mengucapkan sambil tangan beranjali dan menundukkan badan.

Tepat pukul 07.00 pagi waktu setempat, rombongan memulai untuk ber-Dhammayatta. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Taman Rusa Isipatana, Benares yang hanya ditempuh beberapa menit dari Wat Thai. Suatu komplek situs peninggalan Buddha Dhamma yang cukup luas, dimana dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang terbuat dari lempengan batu bata dengan ketinggian tertentu.

Pada waktu kami memasuki komplek tersebut terdapat rombongan dari Thailand yang sedang memanjatkan paritta-paritta suci, kemudian rombonganpun tidak mau ketinggalan dengan memajatkan paritta-paritta suci serta berpadakkhina sebanyak 3 kali yang dipimpin oleh Romo Suyanto.

Taman Rusa Isipatana dikenal sebagai tempat dimana untuk pertama kalinya Buddha Gotama memutar Roda Dhamma dengan Dhammacakkappavattana Suttanya yang sangat terkenal, dimana didalamnya terdapat Catur Ariya Saccani dan Ariya Atthangika Magga.

Pada situs ini terdapat situs peninggalan Mulagandha Kuti, dimana kuti ini dipakai oleh Sang Buddha untuk bermeditasi, dengan berukuran pada masing-masing sisinya 18,29 meter dengan tinggi 61,0 meter menurut musafir dari China Hiuen Tsang, juga pilar Raja Ashoka ( 272-232 SM) serta stupa sangat megah Dhammek Stupa.

Disamping itu terdapat Panchay Tan Temple, konon tempat ini diyakini sebagai tempat Pancavaggiya (Y.M Bhikkhu Kondañña, Assaji, Vappa, Mahanama dan Bhaddiya) berdiskusi. Komplek situs peninggalan ini semuanya dibangun oleh Raja Ashoka. Rombongan sempat berkunjung ke Vihara Sri Lanka yang berada berdampingan dengan komplek Situs Taman Rusa Isipatana yang dibangun oleh Anagarika Dharmapala.

Sebelum kembali ke Wat Thai rombongan mampir ke Museum Arkeologi Sarnath. Sayangnya, didalam museum rombongan tidak diperkenankan mengambil gambar/photo. Didalam museum ini, tersimpan :

1. Bagian atas (patung singa 4 posisi) asli pilar Ashoka

2. Patung Bodhisatta berdiri pertama kali

3. Patung Buddha Gotama dengan sikap tangan memutar Roda Dhamma/Dhammacakkappavattana yang ditemukan pada Mulaganda kuti Buddha dikomplek Taman Rusa Isipatana.

Rombongan kemudian kembali ke Wat Thai untuk makan siang dan check out untuk melanjutkan perjalanan ke Shrasvati. Perjalanan dari Varanasi/Benares menuju Shrasvati sepanjang 370 km ditempuh dalam jangka waktu ± 10 jam, melewati Jainpur karena pada daerah-daerah tertentu yang dilalui oleh Bus yang mengangkut rombongan kami kondisi infrastrukturnya kurang menguntung selain jalanan yang kurang lebar, juga tidak beraspal. Rombongan tiba di kota Shrasvati (Savatthi) menjelang jam 11.00 malam dan menginap di hotel Pawan Palace

Pada hari ke 4 (1 November ’13)

Esok pagi dihari ke 4, rombongan sudah memulai kunjungan ke Jetavana Arama milik hartawan Anāthapindika. Arama dimana Sang Buddha menyampaikan Mangala Sutta (Sutta Tentang Berkah Utama) sebagaimana diketahui dari cerita Buddhis bahwa hartawan Anāthapindika membeli tanah milik Pangeran Jeta tersebut dengan nilai yang luarbiasa, yaitu menutupi semua tanah untuk arama tersebut dengan kepingan emas dan ada bagian tertentu tanah tersebut dimana Pangeran Jeta sendiri berdana untuk Arama.

Rombongan memasuki area tersebut diwajibkan memakai pakaian serba putih. Setelah melakukan Puja bakti yang dipimpin oleh Bhikkhu setempat, rombongan beranjak ke situs peninggalan rumah hartawan Anāthapindika dan goa Angulimala sebelum kembali ke hotel untuk makan siang.

Sehabis makan siang, rombongan menuju Taman Lumbini yang berjarak 250 km dari Shrasvati / Savatthi dan ditempuh dalam jangka waktu > 7 jam . Rombongan langsung menuju Hotel Zambala di Mahilwar, Rupandehi, Lumbini (Nepal) untuk makan malam dan beristirahat.

Pada hari ke 5 (2 November ’13)

Kami anggota rombongan Hadayavatthu sudah siap-siap untuk melihat dari dekat Taman Lumbini termasuk check out dari hotel. Rombongan tiba dipintu masuk Taman Lumbini sekitar jam 07.00 lewat beberapa menit, karena sebelumnya sudah diberitahukan oleh Sdri Stephani selaku pimpinan rombongan untuk secepatnya mengadakan perjalanan ke Kushinagar/Kusinara yang akan memakan waktu perjalanan selama 6 jam.

Setiap peserta rombongan diangkut oleh riksaw/sejenis becak dengan pengayunnya berada di depan penumpangnya untuk sampai di situs Lumbini yang diyakini tempat kelahiran Bodhisatta Pangeran Siddhartta yang kelak menjadi Buddha.

Didalam situs, rombongan sempat melakukan padakkhina dan diluar situs, rombongan melakukan meditasi. Setelah seluruh peserta puas melihat-lihat di area Taman Lumbini, rombongan melaju menuju Kushinagar/Kusinara dengan makan siang di dalam bus.

Setiba di Kushinagar/Kusinara, rombongan langsung menuju situs peninggalan Sang Buddha mencapai Parinibbana dibulan Waisak di usia 80 tahun. Sebelum memasuki area komplek panitia mempersiapkan jubah yang akan diselimuti pada patung Sang Buddha dalam posisi tidur. Setelah memasuki Vihara, rombongan melakukan puja bakti dengan memanjatkan paritta suci dan melakukan padakkhina sebanyak 3 kali.

Selanjutnya rombongan menuju Wat Thai di Kushinagar untuk makan malam dan beristirahat. Tanpa dinyana kami bertemu dengan rombongan Y.M Bhikkhu Wongsin dari Vipassana Graha Bandung yang terdiri dari beberapa upasaka-upasika dan pabbaja Samanera sementara diantaranya Samanera Katthika /anak mendiang Romo Yos.

Dihari-hari berikutnya, rombongan menuju Vaishali dengan mengunjungi Pilar Asokha dan situs peninggalan lainnya di Kesariya, Hutan Uruvela dan rumah Ibu Sujata yang telah berdana makanan kepada pertapa Siddhatta sebelum mencapai penerangan sempurna serta sungai Neranjara yang sedang mengering. Akhirnya kami sampai juga di Bodh Gaya pada malam hari dan menuju Wat Buddhasavika (Thai Nun) untuk makan malam dan beristirahat

Keesokan harinya, barulah rombongan berDhammayatta kekomplek situs peninggalan di Bodh Gaya satu tempat yang sangat diyakini oleh Umat Buddha, dimana pertapa Siddhatta mencapai Penerangan Sempurna dibawah pohon Bodhi lewat perjuangan yang luar biasa dengan mengalahkan Mara sebelumnya.

Didalam komplek tersebut terdapat Vihara Mahabodhi yang mempunyai ketinggian 58 meter yang dibangun oleh Raja Ashoka. Arsitekturya yang indah dilengkapi oleh beberapa situs peninggalan diantaranya 7 tempat yang berbeda di sekitar area pohon Bodhi tersebut untuk mengalami kebahagiaan Pembebasan (Vimutti Sukha) selama seminggu pertama Sang Buddha duduk terus bermeditasi dengan merenungkan tentang Paticcasamupada. Selanjutnya, Sang Buddha bangkit dan berjalan ke arah timur laut. Dengan posisi berdiri Beliau selama seminggu menatap pohon Bodhi terus menerus tanpa berkedip sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada pohon Bodhi.

Selama seminggu berikutnya, Sang Buddha menciptakan yang disebut Ratanacaṅkama di udara lalu berjalan-jalan disana, guna menghapuskan keragu-raguan para Dewa, tentang Penerangan Sempurna yang telah di raih-Nya. Selanjutnya, Sang Buddha duduk di dalam Wisma Permata selama seminggu yang telah Beliau ciptakan untuk merenungkan tentang Abhidhamma Pitaka.

Diminggu berikutnya, Sang Buddha beralih duduk di bawah pohon Banyan tidak jauh dari pohon Bodhi untuk menikmati kebahagiaan pembebasan. Di minggu ini putri Mara – Tanha, Arati dan Raga datang untuk menggoda dengan berbagai cara. Pada kurun waktu seminggu ke 6, Sang Buddha pindah ke kaki pohon Mucalinda. Selama 7 hari ini dibawah pohon Mucalinda Sang Buddha menikmati kebahagiaan Pembebasan lagi. Pada waktu itu terjadi badai besar, yang diiringi oleh hujan lebat dan udara dingin, raja naga Mucalinda keluar dari kediamannya dan melilitkan badan ketubuh Sang Buddha untuk melindungi.

Dan selama seminggu terakhir/ minggu ke tujuh. Sang Buddha pindah dan duduk di bawah pohon Rajayatana di selatan pohon Bodhi dan bermeditasi kembali. Semua tempat ini masih dilestarikan dan dapat dilihat di komplek Bodh Gaya.

Dengan dipimpin oleh saya sendiri ditemani oleh Romo Suripto, Romo Suyanto dan Romo Warto serta peserta lainnya, kami memanjatkan Mangala Paritta dihadapan pohon Bodhi tempat pertapa Siddhattha mencapai Penerangan Sempurna.

Di dalam komplek situs Bodh Gaya ini kita akan mendapati tempat Sang Buddha melakukan meditasi berjalan / Caṅkamana. Sungguh memberikan getaran yang luar biasa kepada saya. Praktis di dalam komplek ini, peserta memerlukan waktu hampir 1 hari, karena banyak situs peninggalan yang perlu dilihat, dan menurut saya ber-Dhammayatta ke Bodh Gaya merupakan puncak acara berDhammayatta. Tempat yang terakhir kami kunjungi selama ber-Dhammayatta diantaranya : Bukit Gijjhakutta, Reruntuhan Universitas Nalanda dan penjara Raja Bimbisara.

Bukit Gijjhakutta di Rajagaha/Rajgir dikenal dalam cerita Buddhis, dimana Bhikkhu Devadatta yang berambisi menjadi Ketua Sangha ingin membunuh Sang Buddha dengan mendorong bongkahan batu besar dari atas bukit Gijjhakutta dan hanya menciderai ibu jari Kaki Sang Buddha. Bila kita melihat bukit Gijjhakutta memang bukit itu terdiri dari bongkahan batu besar.

Selanjutya rombongan mengunjungi reruntuhan Univeritas Nalanda yang konon memiliki 10.000 mahasiswa dan kebesaran bangunan Universitas tersebut berukuran panjang 10 Km dan lebar 5 Km. Universitas Nalanda merupaka tempat pembelajaran Agama Buddha dunia pada saat itu. Konon akhirnya Universitas Nalanda harus menghadapi kenyataan diserang oleh tentara invasit dan dibakar. Banyak mahasiswa dibunuh dan lari, karena mereka katanya tidak mau melukai/membunuh tentara yang menyerangnya. Luar Biasa! Pancasila Buddhis benar-benar dipraktekan oleh para Mahasiswa-mahasiswa Buddhis tersebut. Dan Universitas Nalanda itu dibakar, dimana apinya tidak padam selama 6 bulan. Maka dari iu beberapa dari kami, sempat melakukan pelimpahan jasa kepada makhluk-makhluk yang berada disekitar Universitas Nalanda.

Sambil jalan kembali ke Wat Thai di Gaya, rombongan sempat mampir pada situs peninggalan penjara Raja Bimbisara. Sebagaimana diketahui, Raja Bimbisara merupakan pendukung Buddha Sasana dan mempunyai putra bernama pangeran Ajatasattu. Konon pada waktu istri Raja Bimbisara yakni Ratu Dewi Vedehirajadevi mengidam ingin menghisap darah Raja Bimbisara dan diberikan oleh Raja Bimbisara. Setelah dewasa Pangeran Ajatasattu sering berteman dengan Bhikkhu Devadatta dan akhirnya menghasut, sehingga Pangeran Ajatasattu dinobatkan menjadi Raja menggantikan Raja Bimbisara yang kemudian dipenjarakan oleh anaknya sendiri.

Di dalam penjara Raja Bimbisara tidak diberikan makanan, maka dari itu sang istri selalu membaluri badannya dengan madu untuk Raja Bimbisara. Selama di penjara Raja Bimbisara rajin bermeditasi jalan / caṅkamana dan mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Akhirnya Raja Ajatasattu mengetahui kebiasaan Raja Bimbisara bermeditasi dan mengirim tukang cukur ke penjara Raja Bimbisara mengira anaknya sudah sadar akan kekeliruannya, namun apa yang terjadi ? Tukang cukur itu menguliti telapak kaki Raja Bimbisara sehingga meninggal dunia.

Demikianlah kisah yang tercatat didalam cerita Buddhis. Seorang anak kandung sampai hati membunuh Ayahnya sendiri akibat bergaul dengan Bhikkhu Devadatta. Raja Ajatasattu dan Bhikkhu Devadatta sekarang ini berada di Avici Niraya / Neraka Avici. Selesai sudah perjalanan Dhammayatta kami, begitu tiba di Wat Thai untuk beristirahat, karena esok hari hanya perjalanan dari Gaya menuju Airport di Varanasi untuk kembali ke Colombo.

Di Colombo, rombongan menginap selama 1 malam, sebelum keesokan harinya kembali ke Jakarta.

Kesimpulan :

Dhammayatta adalah suatu perjalanan untuk melihat lebih dekat situs-situs peninggalan Buddha Gotama sebagaimana yang dianjurkan oleh Sang Buddha sendiri kepada kita sebagai umat-Nya sehingga meningkatkan Saddha (keyakinan).

Saya takjub dan terheran-hera khususnya kepada hal bagaimana Sang Buddha setelah mencapai penerangan sempurna di Bodh Gaya berjalan ke Taman Rusa Isipatana di Benares / Varanasi untuk memutar Roda Dhamma yang berjarak ratusan kilometer antara Bodh Gaya- Benares.

Anumodana dan ucapan terima kasih :

1. Kepada Yayasan Hadayavatthu yang telah memberikan fasilitas kepada kami berempat (Pdt. Warto, P.My.Gunawan Sutardi, P.Md. Suripto, dan P.Md. Suyanto) untuk berDhammayatta dengan gratis.

2. Kepada Pengurus Pusat Magabudhi yang telah memberikan kepercayaan serta dukungan kepada kami untuk berDhammayatta tanpa diduga sebelumnya.

Referensi :

Kronologi Hidup Buddha oleh Bhikkhu Kusala Dhamma