081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com

  1. Suatu kali terdapat antrian di depan teller sebuah bank. Antrian masih panjang dan sudah terasa membosankan, semua ingin cepat dilayani oleh teller. Tiba-tiba ada seseorang yang baru datang. Melihat orang itu, langsung salah satu pegawai bank datang menghampirinya dan mengajaknya ke suatu tempat untuk segera dilayani. Sepertinya, orang-orang yang sedang antri di depan teller, merasa iri dengan orang yang baru datang itu. Benarkah pantas untuk merasa iri?
  2. Alkisah, di sebuah keluarga petani terdapatlah dua ekor sapi kakak beradik yang bekerja keras setiap hari di ladang. Mereka menarik kereta penuh beban, apabila hasil pertanian akan dijual ke kota. Kembali dari kota mereka menarik kereta yang penuh dengan barang-barang yang dibeli si petani. Kerja mereka sungguh berat dan melelahkan.
  3. Bersama mereka terdapat seekor babi kecil yang diberi nama Munika, yang kerjanya hanya bermain sepanjang hari dan tidak pernah bekerja. Namun ia diberi makanan yang lezat seperti juga yang dimakan si petani dan keluarganya. Melihat hal itu si sapi yang lebih muda merasa iri dan berkata kepada kakaknya, “Kamu dan saya harus bekerja keras setiap hari, dan kita hanya diberi rumput dan jerami yang murah. Lihat babi itu, yang tidak pernah bekerja untuk keluarga ini. Ia diberi makanan yang terlezat. Mengapa ia diperlakukan jauh lebih istimewa daripada kita?”
  4. Kakak sapi yang bijaksana menjawab, ”Adikku, janganlah iri. Adalah tidak baik untuk iri kepada yang lain. Babi itu sesungguhnya makan ‘makanan kematian’. Kau tahu bahwa anak perempuan petani akan segera menikah dan tidak lama lagi akan diselenggarakan upacara pernikahan. Si babi akan disembelih untuk dijadikan santapan bagi tamu-tamu. Janganlah iri kepada Munika. Puaslah dengan makanan kita yang sederhana, yang akan memberi umur panjang dan kesehatan.”
  5. Hari pernikahan pun tiba, dan Munika disembelih untuk dijadikan hidangan bagi para tamu. Kakak sapi berkata, ”Kau lihat apa yang terjadi pada Munika?” Si adik sapi menjawab, ”Ya, kakak. Sekarang saya mengerti”.
  6. Berikut ini adalah kisah Bhikkhu Losakatissa. Pada jaman Buddha Kassapa, di sebuah vihàra tinggallah seorang bhikkhu dengan moral yang baik. Suatu hari seorang bhikkhu datang ke vihàranya dan meminta izin tinggal di sana untuk beberapa hari. Ketika bhikkhu tuan rumah melihat umat penyokong vihàranya menghormat bhikkhu tamu itu, ia menjadi iri hati
  7. Seorang umat penyokong vihàra mengundang kedua bhikkhu itu untuk makan di rumahnya pada keesokan harinya. Pagi-pagi keesokan harinya, bhikkhu tuan rumah mengetuk lonceng dengan jarinya dan kemudian pergi ke rumah umat tersebut. Ketika ditanya umat mengapa bhikkhu tamu tidak datang, bhikkhu itu menjawab, ”Bhikkhu itu sangat suka tidur sehingga ia tidak bangun ketika saya membunyikan lonceng. Jadi saya tinggalkan dia di vihàra.”
  8. Umat itu melayani bhikkhu dengan makanan yang baik. Kemudian umat itu memberi makanan untuk disampaikan kepada bhikkhu tamu. Dalam perjalanan pulang ke vihàra, bhikkhu tersebut berpikir,”Kalau bhikkhu itu mendapat makanan yang baik setiap hari, tentu dia tidak akan meninggalkan vihàra saya.” Karena rasa irinya itu maka ia membuang makanan itu dari mangkuknya ke tanah.
  9. Ketika sampai di vihàra, bhikkhu tamu sudah tidak ada lagi. Bhikkhu tamu itu telah mengetahui pikiran bhikkhu tuan rumah, maka ia pergi ke tempat lain dengan terbang di udara. Sesungguhnya ia adalah seorang Arahat yang telah terbebas dari segala sesuatu. Bhikkhu tuan rumah merasa menyesal, sejak itu ia merasa tidak bahagia, tidak bisa tidur dan makan dengan enak sepanjang hidupnya. Tidak lama kemudian ia meninggal dan terlahir kembali di alam neraka untuk menerima siksaan dalam waktu yang lama sekali.
  10. Setelah meninggal di alam neraka, ia terlahir kembali sebagai raksasa buruk muka dalam lima ratus kali kehidupan. Selama itu hanya dalam satu hari ia mendapat cukup makanan untuk dimakan, dan itu pun merupakan kotoran yang dikeluarkan oleh seekor rusa yang baru melahirkan di hutan.
  11. Kemudian untuk lima ratus kali kehidupan berikutnya terlahir sebagai anjing gelandangan yang kelaparan. Hanya satu kali ia mendapat cukup makanan untuk dimakan, itu pun berupa makanan muntahan yang ditemukannya di selokan. Akhirnya ia terlahir kembali sebagai manusia di rahim isteri seorang nelayan yang miskin.
  12. Sejak kehamilan itu maka para nelayan di kampung itu menjadi hidup menderita, dan ibu yang mengandungnya menjadi dikucilkan. Setelah ia terlahir, ibunya kesulitan untuk memberinya makan.  Ketika si anak sudah bisa berjalan dengan baik, si ibu memberinya mangkuk untuk mengemis dan meninggalkannya sendirian.
  13. Ketika anak itu berusia tujuh tahun, ia bertemu dengan Y.A. Sàriputta yang menahbiskannya menjadi seorang sàmaõera. Setelah cukup umur, dia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu dengan nama Losakatissa. Ia berlatih meditasi dengan tekun sehingga menjadi seorang Arahat. Namun demikian ia tetap saja tidak mendapatkan makanan yang cukup setiap harinya.
  14. Pada hari ia akan mencapai Parinibbàna, ia pergi bersama dengan Y.A. Sàriputta untuk piõóapata. Mereka tidak mendapatkan makanan. Y.A. Sariputta memintanya kembali ke vihàra dan menunggu di sana. Y.A. Sàriputta pergi sendiri piõóapata dan sebuah keluarga mengundangnya untuk makan di rumah mereka.
  15. Y.A. Sàriputta meminta seseorang untuk mengirim makanan kepada Losakatissa. Di tengah jalan si pengantar makanan menjadi lapar dan lupa mengirim makanan itu, sehingga ia memakan makanan itu. Ketika Y.A. Sàriputta kembali ke vihàra, ternyata Losakatissa belum mendapat makanan. Y.A. Sàriputta pergi ke istana raja Kosala dan meminta makanan untuk Losakatissa berupa catumadhu yaitu makanan yang terdiri dari empat bahan: minyak wijen, sirup, madu, dan mentega.
  16. Setelah ke vihāra kembali, Y.A. Sàriputta memegang mangkuk itu dan membiarkan Losakatissa mengambil makanan dari mangkuk itu. Itulah satu-satunya saat sepanjang hidupnya Y.A. Losakatissa dapat makan hingga kenyang. Setelah makan, ia pun mencapai Parinibbàna. Kehidupannya sebagai bhikkhu yang bermoral di masa lalu membimbingnya mencapai tingkat Arahat, namun rasa irinya membuatnya hidup menderita dalam jangka waktu lama.
  17. Bagaimana menghilangkan rasa iri?Yang paling sederhana tentulah merenungkan bahwa meskipun ada orang lain yang mempunyai ‘kelebihan’ dibanding kita, tetapi jauh lebih banyak lagi orang-orang yang mempunyai ‘kekurangan’ dibanding kita. Banyak sekali orang di dunia yang hidup sengsara dan kekurangan makan. Belum lagi yang berada di tengah peperangan yang berkelanjutan, sewaktu-waktu bisa terluka parah atau tewas karena serangan senjata api atau bom. Kepada mereka, perlu dengan hati welas asih diberikan simpati dan bantuan.
  18. Selanjutnya adalah dengan merenungkan bahwa kelebihan yang dimiliki orang lain merupakan buah karmanya sendiri, dan apa yang kita miliki adalah buah karma kita, oleh karena itu puaslah dengan apa yang dimiliki dan tidak iri terhadap orang lain. Dalam Karaõãya Mettà Sutta dinyatakan:  Santussako ca subharo ca, merasa puas atas apa yang dimiliki dan mudah dirawat. Dalam Mahà Maïggala Sutta disebutkan: Santuññhi ca kata¤¤uta, merasa puas dan berterima kasih. Cåëakammavibhaïga Sutta menyatakan bahwa iri menyebabkan terlahir kembali dengan tubuh lemah dan memiliki sedikit pelayan.
  19. Sebagai penawar dari iri adalah mudità, berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Kalau kebanyakan orang: susah melihat orang lain senang atau senang melihat orang lain susah, tapi mudità dapat dikatakan: senang melihat orang lain senang. Barang siapa yang mengembangkan mudita maka ia akan terlahir di alam dewa setelah kematiannya, dan bila terlahir sebagai manusia akan memiliki pengaruh, banyak pengikut dan kesehatan yang baik. Maka cobalah melaksanakan Mudità Bhāvanà. Meditasi ini merupakan meditasi yang membahagiakan. Bagi pemula hendaklah diawali dengan menujukannya kepada mereka yang dekat dengan kita, baru kemudian ditujukan kepada yang lebih jauh. Dan lakukanlah sering-sering, tentu akan tercapai kemajuan batin dan rasa iri akan berkurang.
  20. Sebetulnya juga kalau direnungkan, apa sih gunanya merasa iri? Orang yang iri akan merasa hidupnya susah memikirkan yang diirikan, lama-lama bisa menjadi stres dan akhirnya menimbulkan penyakit dalam badan. Di sisi lain orang yang diirikan tidak merasa apa-apa, tidak rugi apa-apa. Jadi apa gunanya?
  21. Kembali pada cerita antri di teller. Kalau melihat ada orang yang mendapat pelayanan langsung tanpa antri, ikutlah merasa bahagia atas kebahagiaannya, yang tidak ‘perlu’ antri. Ya barangkali orang itu memang kenal dengan pegawai bank itu, atau besar kemungkinannya ia adalah pelanggan yang menyimpan dana besar sehingga mendapat perlakuan khusus. Wajar saja bukan? Jadi, apabila kita melihat orang lain berbahagia, sukses, dan maju, janganlah iri tetapi doakanlah semoga ia bertambah bahagia, sukses, dan maju. Dengan demikian mudah-mudahan kita pun akan berbahagia, sukses, dan maju!

 Oleh : Pdt. Dr. Dharma K. Widya, M.Kes., Sp.Ak.
(Bahan: Buddhist Tales for Young and Old
 Karma Pencipta Sesungguhnya – Dr. Mehm Tin Mon)