081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com

Hari Jumat pagi tanggal 11 September kami berempat yaitu 3 orang anggota MAGABUDHI dari Jakarta Barat: Upc. Lenny Metta; Romo Phurnadi (ketua PC); istrinya Ramani Chrisnawaty Kamal (bendahara PC); dan saya (anggota Jakarta Utara) naik KA Cirex menuju ke Cirebon.

Setibanya di sana kami diantar oleh Romo Djunawi dan Romo Yanto (Ka. PC MAGABUDHI Cirebon) langsung menuju ke Kuningan (perjalanannya sekitar 80 menit), bertemu dengan Romo Waluyo (asalnya dari Wonogiri, temannya Romo Warto Aggadhammo/Ka. PD Jateng) yang rupanya begitu susah payah mempertahankan keberadaan Agama Buddha Theravada di sana. Berbagai kesulitan dalam pembinaan umat dialami oleh Romo Waluyo dan istrinya Ibu Meni. Kami sempat berdiskusi di Vihara Satya Dharma yang umatnya hanya sekitar 8 orang, untuk saling memotivasi agar terus rela mengabdi dengan tulus supaya umat Buddha di Kuningan tetap bisa belajar dan praktik Buddha Dhamma dengan aman dan nyaman, sehingga hidupnya berbahagia. Hari hampir senja ketika kami bergegas kembali ke Kota Cirebon untuk mandi (gaya militer saja), dan segera berangkat lagi ke Jatibarang.

Perjalanan Cirebon – Jatibarang lewat toll sekitar 1 jam. Begitu sampai di Vihara Budi Asih, di Jalan Letnan Joni, no. 55, kami langsung ikut Puja Bakti yang dipimpin oleh Ibu Budi, yang ketika itu rupanya sekalian merupakan Upacara Pattidana.

Sesuai dengan permintaan umat di sana, maka yang ceramah adalah Upacarika Lenny Metta, perihal ‘betapa beruntungnya kita terlahir sebagai manusia’.

Tanya jawab berlangsung sangat ‘seru’, karena memang sudah sekian lama umat ingin mengetahui beberapa hal, berkaitan dengan bagaimana seorang wanita bisa lancar dan benar dalam mempraktikkan Buddha Dhamma dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Sebetulnya semangat untuk sharing seperti ini muncul setelah kami berbicara dengan Bapak dan Ibu Budi (sesepuh kita, orang Jatibarang – Indramayu) dalam ‘pertemuan penyegaran’ yang diselenggarakan oleh PD Jabar di Vihara Karuna Mukti – Bandung pada tanggal 9 Agustus yang lalu.

Ternyata, semua pertanyaan umat yang hadir dapat dijawab dengan tepat dan sigap oleh Upc. Lenny Metta, saya ber-anumodana karenanya, cuma ada 1 pertanyaan yang sepertinya belum terjawab dengan tuntas olehnya, yaitu: Kapan Ramani datang lagi ke sini untuk berbagi? Semoga GBJB, Gebrakan Bangkitkan Jawa Barat yang dimotori oleh Upc. Anton Rousallen mampu berjasa, mengkondisikan agar kegiatan serupa (Puja Bakti bareng) dapat terulang lagi di Jatibarang, di mana 9 orang rombongan dari Losari – Jateng pun mau turut hadir, dan acara serupa bisa juga diadakan di vihara-vihara lainnya di ex Keresidenan Cirebon serta di seluruh daerah Jawa Barat pada umumnya, seperti di Bekasi/Cikarang; Karawang; Garut dan Sukabumi?

Akhirnya, hampir pukul 24 malam kami baru tiba kembali di Sekolah Sariputra – Cirebon untuk istirahat, dan keesokan harinya setelah mengantarkan 3 orang anggota MAGABUDHI dari PC Jakarta Barat ke stasiun KA untuk kembali lebih dulu ke Jakarta, saya dengan Romo Djunawi dan Romo Yanto diantar oleh Bapak Oong dan istrinya Ibu Lan langsung meninjau ke Vihara Dharma Loka, Jalan Pande, no. 35 – Sindanglaut, kemudian ke Vihara Budhi Dharma, di Jalan Lapangan Bola – Ciledug dan terakhir ke Vihara Dharma Mulya di Jln. Klenteng, no. 55 Losari – Jawa Tengah.

Sekembalinya di Cirebon, malamnya kami mengadakan diskusi dengan beberapa teman PATRIA dan aktivis Buddhis bertempat di Sekolah Sariputra, yang juga sempat dihadiri oleh Romo PMy. Bobby Subrata yang datang pada hari Sabtu sore tanggal 12 September bersama keluarganya, yang sedemikian rupa mampu membangun suasana pertemuan yang akrab dan kreatif.

Intinya, semua peserta diskusi merasa ‘plong’ karena telah berkesempatan mengemukakan isi hati juga pendapatnya, dan kemudian setuju agar upaya-upaya yang taktis dan simpatik harus terus dilancarkan agar suasana pengabdian di Vihara Welas Asih bisa lebih harmonis, supaya kita semua bisa merasakan betapa penting dan hangatnya vihara kita bersama tersebut sama seperti di masa silam. Prinsip utama yang lainnya adalah, kita tidak mau menang sendiri atau pun egois, tapi kita harus lebih banyak memberi.

Sungguh manis rasanya apabila kita bisa/mampu saling memberi, . . . . . manis sekali, seperti rasa mangga gedong ‘gincu’ oleh-oleh dari Romo Yanto (yang merupakan kalyana mitta bagi kita semua umat Buddha se Jabar, yang sudah amat sering/banyak memberi dan terus memberi). Selamat mengabdi dengan tulus tiada henti, sukhi hontu teman-teman sekalian.

Cirebon, 13 September 2015, oleh USA.