MENYADARI “KILESA” PADA DIRI KITA
Semarang, 13 Maret 2016
“Kita banyak yang tidak menyadari bahwa “kilesa” (kemelekatan) merupakan penyakit batin yang sangat merugikan. Akibat “kilesa”, sering kita kehilangan logika, bahkan bisa mencelakakan, Itulah sebabnya kita wajib menyadari “kilesa” pada diri kita sendiri.”
Demikian disampaikan oleh Pandita D. Henry Basuki pada pembinaannya dihadapan umat Buddha di Vihara Buddhagaya Watugong, Minggu malam 13 Maret 2016.
Dijelaskan bahwa vihara ini sudah mengingatkan bahwa bagi orang yang ingin melaksanakan dhamma hendaknya menghancurkan “kilesa” berupa lobha, dosa dan moha. Pengingat tersebut berupa relief yang dipasang pada lantai menuju pintu masuk dhammasala. Secara simbolis, sebelum masuk hendaknya kita menginjak-injak relief tersebut. Relief termaksud berupa ukiran ayam jago menggigit ekor ular, ular menggigit ekor babi dan babi menggigit ekor ayam jago.
Pada kesempatan ini Pandita D. Henry Basuki juga mengingatkan bahwa karena adanya “kilesa” maka orang jadi sombong. Kesombongan in itu tumbuh menjadi beranggapan mengerti segala hal. Kita sering menemui orang yang bertanya namun sudah punya konsep dugaan akan jawab pertanyaan yang diajukan. Akibatnya, dugaan tersebut jadi dominan sehingga kemungkinan dia tidak mendengar jawab atas pertanyaannya.
Kesombongan akan diiringi keserakahan, malas belajar dari pengalaman diri sendiri maupun pihak lain sehingga serba “sok tahu”, atau yang maksud sebenarnya “tidak tahu”
Diharapkan bila kita mempunyai sifat buruk yang merusak batin, segeralah kita kikis dengan cara melaksanakan sila dan bhavana yang memunculkan panna (kebijaksanaan) dalam menempuh kehidupan. Bila “kilesa” tidak dikikis dengan pelaksanaan sila,maka kita tidak mengerti kebenaran. Orang yang tidak mengerti kebenaran beranggapan yang tidak benar dikira benar dan yang tidak baik dikira baik.
Kepada para pembabar dhamma diharapkan rajin mempelajari dan meneliti kembali setiap ajaran Sang Buddha yang disampaikan. Kalau malas meneliti kemungkinan terjadi intervensi keyakinan lain yang disampaikan. “Saddha” atau keyakinan umat Buddha tidak bisa dibandingkan dengan keyakinan lain, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena paham agama bersumber pada kitab suci yang tidak sama.
Namun demikian,setiap agama pasti mengajarkan kebenaran serta tidak membenarkan tindak kejahatan maupun tindakan tercela. Menjadi kewajiban kita bersama untuk membenarkan yang salah bukannya membiarkan dengan sikap acuh tak acuh.
Kalau kita malas membenarkan, maka kesalahan akan terus berlanjut dan mereka yang melaksanakan kebenaran akan menjadi pihak yang tersisih. Kita wajib “action”, karena pembiaran terjadinya keselahan akan menggoncangkan kehamonisan dalam kehidupan.