081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com

PC MAGABUDHI & WANDANI Tangerang Selatan melaksanakan Upacara Pattidana

PC MAGABUDHI Tangerang Selatan & WANDANI Tangerang Selatan telah sukses menyelenggarakan upacara Pattidana.  Upacara yang dilaksanakan di Cetiya Anurrudha tersebut berlangsung dengan hikmat dan penuh bhakti. Panitia secara khusus menyampaikan Anumodana kepada para donatur, Bhikkhu Sangha, Atthasilani, tim Paritta kota Tangerang Selatan yang telah ikut membacakan Paritta Avamanggala selama 7 malam dan panitia yang telah membantu terlaksananya upacara Pattidana tersebut.

Perlu diketahui bersama pula bahwa PC MAGABUDHI Tangerang selatan tersebut tidak hanya memenuhi kewajiban bhakti kepada leluhur dengan upacara pattidana tersebut tetapi juga telah melaksanakan bhakti sebagai organisasi telah menyetorkan dana pattidana tersebut 20 % ke pengurus pusat, sebuah pengabdian PC yang luar biasa dan tentunya sangat membantu untuk perkembangan Buddha-Dhamma.

LAKSANAKAN REVOLUSI MENTAL


MAGABUDHI_Semarang, 14 April 2016|
Kepala Badan Kesbangpol & Linmas Propinsi Jawa Tengah Drs Achmad Rofai, Msi  menyatakan bahwa kegiatan untuk membina kerukunan umat beragama pada saat ini ditangani oleh Badan Kesbangpol & Linmas, karena masalah legalitas dari Kementrian Hukum dan HAM wajib dipenuhi sebagai salahsatu syarat kelembagaan. Olehkarena itu diharapkan kepada setiap ormas segera menyerahkan bukti legalitas termaksud untuk kelancaran kegiatan maupun pembinaan.

Hal ini dikemukakan Achmad Rofai pada pembukaan “Forkomkon Antar Umat Beragama dan Penghayat Kepercayaan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016” pada 14 April 2016 siang di Riyadi Palace Hotel, Sala.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi pada Gubernur Jateng agar Jawa Tengah akan tetap kondusif.

Sebagai awal seluruh acara dibacakan doa secara agama Islam oleh KH Jaelani, Katolik oleh Sidik Pramono, Kristen Protestan oleh Pendeta Amas Gunawan, Konghucu oleh Ws Purwani dan Buddha oleh Pandita D. Henry Basuki.

Pendeta Waras Widigdo selaku Sekretaris Forrum Keadilan dan Hak Azasi Umat Beragama (Forkhagama) menjelaskan bahwa kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol & Linmas Jateng bekerjasama dengan Forkhagama sebagai organisasi yang mengerti permasalahan membina kerukunan dan menyelesaikan permasalahan yang timbul antar umat beragama.

Pandita D. Henry Basuki, pemimpin agama Buddha dari MAGABUDHI sebagai salahseorang pendiri Forkhagama dalam ceramahnya mengemukakan bahwa midset ketidak rukunan sebenarnya dibentuk oleh penjajah dalam kurun waktu tiga setengah abad. Dengan politik adu domba demi kepentingannya, penjajah telah melakukan berbagai upaya agar terjadi perpecahan dalam masyarakat Nusantara. Secara local genius, nenekmoyang kita sebenarnya penuh toleransi, dapat menghargai adanya perbedaan, karena pada dasarnya masyarakat di Nusantara ini adalah majemuk.

Pola pikir penjajah telah demikian rupa meresap dalam masyarakat. Walau kita sudah cukup lama merdeka, namun pola pikir tersebut tetap tidak hilang karena dipelihara untuk kepentingan pihak-pihak yang tidak menginginkan kejayaan Indonesia.

Olehkarena itu, hendaknya sebagai pemimpin umat beragama kita melaksanakan revolusi mental. Mengedepankan nilai-nilai agama yang penuh kasih sayang,menyadari . bahwa kita tidak boleh hanyut pada pemikiran yang merusak persatuan. Tanpa tekad untuk tidak mau dihasut agar terjadi perpecahan, maka Indonesia yang bahagia sejahtera tidak akan terwujud.

Sudah waktunya pula kita tidak tinggal diam akan segala pelanggaran aturan agar supermasi hukum terlaksana dengan baik.

Sebagai penceramah, selain Pandita D. Henry Basuki, KH Jaelani dari Islam, Pendeia Waras Widigdo dan Romo Alexsios dari Kristen, Sujaelanto dari Hindu, Paulus Putoyo dari Katolik dan Ws Purwani dari Kongkucu.

Acara yang mengambil tema “Menuju Pembangunan Mental Bangsa Indonesia” berlangsung 2 hari ini diikuti oleh 50 pemimpin agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Kongkucu dari seluruh wilayah ex Karisedenan Surakarta.

BEDAH BUKU BUDDHISTIS DI KAMPUS UNIVERSITAS KATOLIK

MAGABUDHI_Semarang, 16 Maret 2016


Sebuah buku berjudul “RATTA PRAHARN
di Negeri Gajah Putih” 346 halaman, terbitan Kanisius Yogyakarta kurang dimengerti oleh kalangan umat Buddha walau isinya Buddhistis, ditulis oleh seorang mantan bhikkhu asal Muntilan.  

Dalam bahasa Thai, Ratta Praharn berarti kudeta yaitu perebutan kekuasaan dari sebuah pemerintah yang ada. Di Thailand kudeta dilakukan oleh pihak militer dengan menggerakkan pasukan tentara.  

Penulis buku ini, Teddy Prasetyo yang pada tahun 1970 dipabbajja, menjadi Samanera selama satu tahun agar bisa menyesuaikan hidup sebagai viharawan negeri di Thai, kemudian diupasampada tahun 1971 menjadi Bhikkhu Jeto di Wat Bovoranives oleh Somdet Pra Nyanasamvara. Ia berhasil menyelesaikan 3 vassa dengan acarya Phra Vidhurdhammaborn (Bhante Win)

Teddy kembali hidup sebagai perumah tangga pada tahun 1975. Ketika peristiwa Kudeta 1976 yg merembet sampai penyerbuan ke Universitas Thamasat, dia masih menyelesaikan S2 di Mahidol University.

Sebagai seorang Indonesia yang tinggal di Thailand lebih dari 40 tahun, penulis buku ini  tertarik untuk mempelajari dan kemudian menjelaskan tentang fenomena unik yang terjadi di sebuah negara tetangga sesama ASEAN. 

Bermula penulis tinggal  di Wat Bovoranives untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Buddha aliran Theravada, kemudian meneruskan pendidikan meraih gelar Master’s di Universitas Mahidol. Setelah itu bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia, kemudian meniti karir panjang pada sebuah badan pemerintah Amerika Serikat di Bangkok.  Selain menguasai bahasa Thai, penulis juga telah menjalin jaringan komunikasi yang luas dengan anggota masyarakat lokal dari berbagai lapisan dan berbagai bidang profesi.

Buku ini disusun sedemikian rupa untuk memperkenalkan kepada pembaca Indonesia beberapa segi negara Thailand seperti pentingnya lembaga monarki, agama Buddha aliran Theravada, Angkatan Bersenjata Thailand, dan peranan media dalam percaturan politik. Selain itu, sejarah negara yang dahulu dinkenal dengan nama Siam juga dibahas dalam buku ini.  Penulis mempunyai harapan agar buku ini akan lebih memperluas pemahaman pembaca terhadap sebuah tetangga dekat yang memiliki watak kepribadian mirip dengan Indonesia.

Pada 16 Maret 2016 siang buku “RATTA PRAHARN Di Negeri Gjah Putih” dibedah oleh Rotary Club Semarang  bekerjasama dengan Universitas Katolik Sugijapranata, mengambil tempat di Gedung Thomas Aquinas, kampus Universitas tersebut. Sebagai pembahas Benediktus Benny D.Setianto SH, LL.M, MIL dekan Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Sugijapranata dan Adi Joko Purwanto, SIP, MA, Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim, dengan moderator sastrawan Triyanto Triwikromo, redaktur senior Harian Suara Merdeka.

Baik Benny Setianto maupun Adi Joko Purwanto menilai buku ini isinya beragam, baik mengenai agama Buddha, tata masyarakat, tata pemerintahan,, hukum dan politik.

Walau oleh penulisnya sudah dijelaskan bahwa isinya bukan kajian ilmiah, namun sangat unik dan bermanfaat,

Acara yang dibuka dengan pembacaan doa secara agama Buddha oleh Pandita D. Henry Basuki, sambutan oleh Cindy Bachtiar selaku Ketua Rotary Club Semarang Kunthi dan Donny Danardono,SH, Mag Hum, selaku Ketua Prodi Magister Lingkungan & Perkotaan Unika Sugijapranata ditutup dengan tanya jawab yang cukup menarik, antara lain tanggapan dari para mahasiswa muslim Thailand yang sedang menempuh study di Universitas Wahid Hasyim.

 

PC MAGABUDHI JAKARTA UTARA SUKSES MELAKSANAKAN KDAB DI BULAN MARET


Pengurus Cabang MAGABUDHI Jakarta Utara telah melaksanakan Kursus Dasar Agama Buddha (KDAB) selama 2 kali pertemuan, yaitu tanggal 20 dan 27 Maret
2016, di Vihara Theravada Buddha Sasana, Kelapa Gading.

Jumlah peserta 
adalah 64 orang, yang berasal dari berbagai vihara dan sekolah di Jakarta. 


Pada akhir KDAB dilakukan Visudhi Upasaka/Upasika yang diikuti oleh  23 peserta, dipimpin oleh PMd. Andriyanto dan pemberkatan oleh Bhikkhu Uggaseno

MENYADARI “KILESA” PADA DIRI KITA


Semarang, 13 Maret 2016

“Kita banyak yang tidak menyadari bahwa “kilesa” (kemelekatan) merupakan penyakit batin yang sangat merugikan. Akibat “kilesa”, sering kita kehilangan logika, bahkan bisa mencelakakan, Itulah sebabnya kita wajib menyadari “kilesa” pada diri kita sendiri.”

Demikian disampaikan oleh Pandita D. Henry Basuki pada pembinaannya dihadapan umat Buddha di Vihara Buddhagaya Watugong, Minggu malam 13 Maret 2016.


Dijelaskan  bahwa vihara ini sudah mengingatkan bahwa bagi orang yang ingin melaksanakan dhamma hendaknya menghancurkan “kilesa” berupa lobha, dosa dan moha. Pengingat tersebut berupa relief yang dipasang pada lantai menuju pintu masuk dhammasala. Secara simbolis, sebelum masuk hendaknya kita menginjak-injak relief tersebut. Relief termaksud berupa ukiran ayam jago menggigit ekor ular, ular menggigit ekor babi dan babi menggigit ekor ayam jago.

Pada kesempatan ini Pandita D. Henry Basuki juga mengingatkan bahwa karena adanya “kilesa” maka orang jadi sombong. Kesombongan in itu tumbuh menjadi beranggapan  mengerti segala hal. Kita sering menemui orang yang bertanya namun sudah punya konsep dugaan akan  jawab pertanyaan yang diajukan. Akibatnya, dugaan tersebut jadi dominan sehingga kemungkinan dia tidak mendengar jawab atas pertanyaannya.

Kesombongan akan diiringi keserakahan, malas belajar dari pengalaman diri sendiri maupun pihak lain sehingga serba “sok tahu”, atau yang maksud sebenarnya “tidak tahu”

Diharapkan bila kita mempunyai sifat buruk yang merusak batin, segeralah kita kikis dengan cara melaksanakan sila dan bhavana yang memunculkan panna (kebijaksanaan) dalam menempuh kehidupan. Bila “kilesa” tidak dikikis dengan pelaksanaan sila,maka kita tidak  mengerti kebenaran. Orang yang tidak mengerti kebenaran beranggapan yang tidak benar dikira benar dan yang tidak baik dikira baik.

Kepada para pembabar dhamma diharapkan rajin mempelajari dan meneliti kembali setiap ajaran Sang Buddha yang disampaikan. Kalau malas meneliti kemungkinan terjadi intervensi keyakinan lain yang disampaikan. “Saddha” atau keyakinan umat Buddha tidak bisa dibandingkan dengan keyakinan lain, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena paham agama bersumber pada kitab suci yang tidak sama.


Namun demikian,setiap agama pasti mengajarkan kebenaran serta tidak membenarkan tindak kejahatan maupun tindakan tercela. Menjadi kewajiban kita bersama untuk membenarkan yang salah bukannya membiarkan dengan sikap acuh tak acuh.

Kalau kita malas membenarkan, maka kesalahan akan terus berlanjut dan mereka yang melaksanakan kebenaran akan menjadi pihak yang tersisih. Kita wajib  “action”, karena pembiaran terjadinya keselahan akan menggoncangkan kehamonisan dalam kehidupan.

 

EMPAT TAHUN CANDI KHEMASARANO


Juwana, Pati 3 Maret 2016

Bhikkhu Saddhaviro Mahathera mengingatkan bahwa untuk memelihara keberadaan tempat ibadah seperti Candi Khemasarano ini diperlukan ketulusan umat Buddha untuk merawatnya. Tentu saja dalam pelaksanaannya banyak hal yang menjadikan personil pengurus tidak senang karena orang sering mencela usaha mulia termaksud.

Demikian pesan Bhikkhu Saddhaviro Mahathera dihadapan umat Buddha yang memadati area Candi Khemasarano, terletak di ds Bakaran Wetan, Juwana, Pati pada tanggal 3 Maret 2016 malam.


Acara ini dititik beratkan sebagai 4 tahun berdirinya monumen Candi Khemasarano, namun demikian yang lebih penting justru pattidana  memperingati 17 tahun wafatnya YM Bhikkhu Khemasarano Mahathera yang dipancaka di Krematorium “Budhi Luhur”, desa Tlogobetu, Juwana keesokan harinya. Selanjutnya, pada 6 Maret 1999, abu jenazah beliau ditempatkan di Vihara Tanah Putih. Sebagian abu jenazah ini kemudian pada 3 Maret 2012 ditempatkan pada altar Buddha di Candi Khemasarano bersamaan dengan peresmian berdirinya monumen tersebut. Acara pattidana puja dipimpin oleh Pandita Madya Hartono yang memang tekun memimpin setiap puja yang dilaksanakan lepas senja di Candi Khemasarano.

YM Bhikkhu Khemasarano Mahathera lahir 23 Agustus 1915 di Bakaran Wetan, Kec. Juwana, Pati, wafat pada 3 Maret  1999 di Semarang dalam usia 84 tahun. Pada tahun 1970 setelah pensiun dari Kementrian Pekerjaan Umum sbg bendaharawan di Jakarta, beliau menjalani hidup sebagai anagarika (atthangga sila upasaka) di Vihara Tanah Putih.

Pada 26 Juli 1972 beliau melaksanaan pabbajja sebagai Samanera oleh Bhikkhu Jinapiya, kemudian diupasampada pada 13 Juli 1973 oleh Somdej Phra Nyanasamvara, Sangharaja Thai di Wat Bovoranives Vihara, Bangkok. Bersama beliau juga diupasampada Bhikkhu Aggabalo (setelah lepas jubah dikenal dengan nama Cornelis Wowor)

Pada 23 Oktober 1976, bersama 4 bhikkhu YM Khemasarano memproklamikkan berdirinya Sangha Theravada Inonesia di Vihara Tanah Putih Semarang.

Pesan beliau terhadap generasi penerusnya antara lain agar kita memberikan  pelayanan  kepada umat Buddha  secara  baik dengan penuh pengabdian, tidak menghitung apa yang didapat. Pesan ini ditekankan lagi agar kita memberikan  pelayanan kepada masyarakat karena masyarakat banyak punya harapan pelayanan masalah agama Buddha  dari setiap vihara. Pesan yang tidak dipahami namun sering diucapkan beliau agar di Vihara Tanah Putih didirikan sima sehingga dapat dilaksanakan upasampada bhikkhu.

Menurut Sumarno yang tekun merawat Candi Khemasarano serta sering mendapatkan pesan beliau, peringatan setiap 3 Maret senantiasa dilaksanakan. Kalaupun dana sangat terbatas, acara yang diusahakan oleh umat Buddha di Bakaran Wetan ini tetap dapat terlaksana dengan baik. Adapun waktu pelaksanaannya pada sore/malam hari karena pada siang harinya umat memenuhi kewajibankeluarga mencari nafkah.

Hadir dalam acara ini Bhikkhu Saddhaviro Mahathera yang sangat diperjuangkan menjadi anggota Sangha oleh mendiang Bhante Khemasarano. Beliau hadir bersama Bhikkhu Sujato Thera yang datang dari Jepara, Bhikkhu Khemacaro datang dari Semarang serta Samanera Aggasilo.


Acara ritual pattidana (pelimpahan jasa) yang sekaligus kemeriahan (sukacita) atas dibangunnya monumen kebanggaan para siswa Bhante Khemasarano, dimeriahkan dengan pentas gamelan (musik Jawa) group  “Suko Laras” yang “manggung” sesaat setelah selesainya acara ritual hingga pukul 02:00 dinihari.

Acara hingga selesai disimak juga oleh Kepala Desa Bakaran Wetan Subari Noto Buwono. Juga hadir salahseorang siswa Bhente Khema yang akrab dengan beliau di Vihara Tanah Putih, yaitu Pandita D. Henry Basuki.Dia senantiasa mengajak setiap siswa dan siapa saja yang merasa diasuh oleh mendiang Bhante Khema untuk hadir setiap tanggal 3 Maret di Candi Khemasarano.

Ratusan umat Buddha serta para kadang (saudara) pemeluk berbagai agama dari wilayah Juwana dan sekitarnya memenuhi halaman Candi Khemasarano,.