081312351976 ppmagabudhi@yahoo.com
Meditasi Sarana Pembuktian adanya Kelahiran Kembali

Meditasi Sarana Pembuktian adanya Kelahiran Kembali

Oleh: YM. Uttamo Mahathera

Masalah kehidupan sering menjadi suatu teka-teki untuk kita. Kadang kita bertanya-tanya, sesungguhnya dari mana kita berasal? Dari mana datangnya, apakah kita muncul begitu saja? Ataukah ada sebab lain?
Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa kita dicipta.Tetapi seandainya kita lalu menanyakan kenapa saya dicipta menderita? Mengapa dia dicipta bahagia? Kenapa dia dicipta sehat dan saya dicipta sakit-sakitan? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan demikian yang merupakan misteri kehidupan yang kalau hanya dijawab dengan “ciptaan” —bahwa semua ini adalah ciptaan— tentu hasilnya akan menumbuhkan ketidak-puasan, karena kita ingin tahu alasan yang lebih mendalam. Kalau kita hanya menjawab sampai pada penciptaan saja, tentunya berhenti tanpa ada kelanjutan lain.
Menurut pandangan agama Buddha, kita bisa berbeda-beda —lahir sehat atau lahir cacat, hidup dalam keluarga bahagia atau dalam keluarga menderita— ini semua karena karma atau perbuatan kita dalam kehidupan-kehidupan yang lampau. Buah kehidupan yang lampau itulah yang akhirnya kita rasakan dalam kehidupan ini, dalam bentuk kebahagiaan maupun penderitaan.
Hanya orang-orang yang mau berpikir lebih lanjut lagi kemudian akan bertanya, kalau kita menderita atau bahagia karena buah kehidupan yang lampau, ini tentunya akan sama halnya dengan mengatakan kita bahagia dan menderita karena ada yang menciptakan, karena nanti tidak akan bisa kita tanyakan lagi bagaimana bentuk kehidupan yang lampau itu.
Sehingga memang akhirnya kadang-kadang kita lalu terjebak ke dalam satu pandangan yang buntu. Kita hanya mengatakan kehidupan lampau. Atau kalau ditanya lagi bagaimana membuktikan kehidupan-kehidupan lampau, ya meditasi saja yang baik, tetapi cara bermeditasi untuk membuktikan kehidupan yang lampau itu tidak diberikan. Akhirnya orang lalu mengatakan ini sama saja dengan kasus “diciptakan” tadi.
Dalam pandangan Buddhis, memang sesungguhnya kita dapat melihat kehidupan yang lampau. Bahkan bukan hanya dalam satu kehidupan yang lampau saja, beberapa kali kehidupan yang lampau, sampai beratus-ratus kehidupan yang lalu pun kita bisa ingat.
Sarananya adalah meditasi. Meditasi menjadi hal yang penting dan pokok dalam menyelidiki kehidupan yang lampau karena meditasi merupakan pengembangan kesadaran. Pengembangan kesadaran ini dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi pikiran.
Di dalam kehidupan kita sehari-hari, sering kita melakukan segala bentuk pekerjaan dengan kurang berkonsentrasi. Misalnya saja saat ini kita sedang duduk lalu kita bertanya pada diri sendiri, “sebelum duduk di sini, saya dari mana?”
Kita mungkin saja masih bisa menjawab, “Dari kamar”.
“Sebelumnya dari mana?”
“Kita dari ruang tamu”.
“Sebelumnya dari mana?”
“Pulang kuliah dari kampus”.
“Sebelumnya dari mana?”
Begitu seterusnya, sampai kita tidak ingat lagi kita ini sebenarnya hari ini mengerjakan apa atau hari ini dari mana saja.
Belum lagi kalau ditanya, “Tadi saya masuk ke kamar dari pintu depan, melangkah berapa langkah, kemudian masuk ke kamar dengan kaki kiri atau kaki kanan dulu? Kita sering sudah lupa sampai di sini.
Kelupaan kita ini jelas karena kita kurang menggunakan konsentrasi dalam melakukan kegiatan seperti tadi, mengendarai mobil, keluar dari kampus, kemudian di jalan, parkir mobil di rumah, masuk ke dalam rumah, masuk ke dalam kamar, kemudian keluar dari kamar, lalu duduk di kursi.
Oleh karena itu, kalau yang baru saja dilakukan sudah tidak kita ingat lagi, bagaimana kita bisa mengingat dengan tepat kejadian seminggu yang lalu, setahun, sepuluh tahun, seratus tahun, bahkan seribu tahun yang lampau sampai beberapa ribu tahun yang lampau?
Kalau sekarang kita mengembangkan kesadaran dengan melatih konsentrasi dalam meditasi, tujuan utama adalah berusaha menyadari segala sesuatu yang kita lakukan, menyadari segala sesuatu yang kita ucapkan, menyadari segala sesuatu yang kita pikirkan dengan kesadaran yang tidak terputus-putus tetapi merupakan kesadaran yang terus menerus pada saat duduk, berdiri, berjalan dan lain-lain.
Kesadaran yang terus-menerus ini akan menimbulkan daya ingat yang tajam. Misalnya kalau kita sedang berjalan —dan sadar sedang berjalan: kanan-kiri kanan-kiri kanan-kiri— masuk ke dalam rumah, ketika membuka pintu rumah kita sadar sedang membuka pintu rumah dan melangkah masuk kanan-kiri kanan-kiri. Kita akan tahu persis ketika ditanya orang, “Masuk rumah dengan kaki kanan atau kiri lebih dahulu?” Kita dengan penuh kesadaran dan penuh konsentrasi bisa mengatakan, “Saya masuk dengan kaki kanan dulu”. Ini adalah manfaat dari pengembangan kesadaran berdasarkan konsentrasi.
Sekarang apabila kita sudah terbiasa berkonsentrasi, terbiasa mengembangkan kesadaran dengan duduk diam bermeditasi setiap hari —yang dilatih secara rutin, pagi dan sore hari dalam waktu yang tertentu, misalnya masing-masing satu jam— pikiran akan terpusat pada satu objek pada saat duduk bermeditasi.
Kita sekarang berusaha memusatkan seluruh perhatian pada satu objek, yang pada umumnya adalah pernafasan. Kita berusaha menyadari masuk keluarnya nafas. Sewaktu duduk bermeditasi, kita mengucapkan kata “masuk” seirama dengan masuknya nafas, kita mengucapkan kata “keluar” seiring dengan keluarnya nafas. Sehingga di dalam batin kita yang ada hanyalah dua kata: “masuk” dan “keluar”, “masuk” dan “keluar”, sesuai dengan irama nafas kita secara alamiah.
Yang dimaksud dengan alamiah di sini adalah kita tidak mengatur nafas selama bermeditasi. Kita tidak perlu membuat nafas kita menjadi lebih cepat dari kewajaran atau menjadi lebih lambat atau menahan nafas. Tetapi kita perhatikan saja gerak nafas secara alamiah.
Ketika kita sedang memperhatikan masuk keluarnya nafas ini, pikiran kita sering menyimpang pada pekerjaan, kuliah, rumah tangga, pada problem-problem yang sedang kita hadapi saat ini, sehingga perhatian kita beralih dari pernafasan ke problem-problem yang harus kita hadapi.
Kita sebagai orang yang sedang berlatih meditasi harus cepat mengenali fenomena pikiran ini dan segera menarik kembali pikiran yang menyimpang tadi ke dalam objek kita, yaitu masuk keluarnya nafas. Semakin cepat kita menyadari menyimpangnya pikiran dari objek dan menarik kembali ke objek nafas berarti semakin bisa kita melatih meditasi. Akhir dari kemampuan bermeditasi pada tahap awal adalah selama selang waktu tertentu tersebut perhatian kita tetap bisa berkonsentrasi pada satu objek —yaitu nafas— tanpa menyimpang lagi untuk memikirkan hal-hal yang lain.
Bila sudah bisa memusatkan pikiran pada satu objek, maka kita sekarang bisa menguji sejauh mana hasil konsentrasi dan pengembangan kesadaran kita ini untuk digunakan melihat hal-hal yang telah pernah kita lakukan.
Ketika konsentrasi kita sudah tinggi, kita bertanya pada diri kita, “Sebelum bermeditasi kita melakukan apa?”
“Mandi”.
“Sebelumnya saya membaca buku, sebelumnya lagi membantu orang tua, dan seterusnya”.
Kita berusaha menguji daya ingat dengan bekal konsentrasi dan kesadaran yang telah dilatih selama meditasi ini untuk mengingat dengan cara mundur seperti itu.
Kalau kita sekarang lupa apa yang telah lakukan sejam yang lalu, berusahalah kembali mengembangkan kesadaran dan konsentrasi. Kemudian ulangi mengingat kembali, sebelum meditasi kita melakukan apa, demikian seterusnya. Sampai akhirnya mungkin daya ingat kita yang hanya bertahan untuk menyadari kehidupan kita satu jam yang lampau dapat dikembangkan menjadi dua jam yang lampau, tiga jam yang lampau, tiga hari, tiga bulan, tiga tahun yang lampau, lima, sepuluh, dua puluh tahun, seratus tahun, dua kehidupan yang lampau, sepuluh kehidupan yang lampau, demikian seterusnya.
Kuncinya yang terpenting adalah pertama: kita bisa bermeditasi dengan seluruh konsentrasi yang terpusat pada satu objek, dan yang kedua adalah kita menggunakan konsentrasi untuk berusaha mengadakan flash-back (melihat kehidupan yang lampau dengan cara sedikit demi sedikit, sedetik yang lalu, dua detik dan seterusnya) hingga kita bisa menyadari beberapa kehidupan yang lampau.
Kalau kita bisa menjalankan meditasi dan bisa berkonsentrasi serta mengembangkan kesadaran dengan baik dan benar, maka dengan teknik melihat dari satu detik, dua detik yang lampau sampai satu, dua tahun, satu kehidupan, dua kehidupan yang lampau ini, pasti bisa kita jalankan.
Yang penting adalah praktek, melaksanakan sedikit demi sedikit. Perlu diingat bahwa pada saat bermeditasi untuk tingkat awal, hendaknya kita jangan mempunyai satu pemikiran bahwa: apakah sekarang sudah saatnya kita bisa melihat kehidupan yang lampau? Kalau kita terlalu cepat mempunyai pikiran untuk melihat kehidupan yang lampau, maka akhirnya konsentrasi kita akan terpecah dan tidak mampu bermeditasi. Lebih baik pada tahap awal tujuan kita hanya memperhatikan nafas saja, kemudian target kita harus bisa memperhatikan nafas tanpa menyimpang dari objek itu selama itu barulah mengalihkan objek kita untuk mengadakan flash-back pada kehidupan kita.
Dengan cara demikian, maka akhirnya kita mulai bisa menyingkap kehidupan yang sekarang, yang kemarin, dan akhirnya bisa menyingkap kehidupan-kehidupan kita yang lampau. Kita bisa mengerti dengan jelas, kenapa saya lahir menderita, kenapa dia lahir bahagia, kenapa saya lahir sakit-sakitan sedangkan dia bisa lahir sehat.
Ternyata nanti di dalam pemutaran mundur (rewind) memori kehidupan kita ini akan terlihat jelas, yang menjadi sumber kita bahagia atau menderita sesungguhnya adalah perbuatan kita sendiri.
Oleh karena itu, sesungguhnya tumimbal lahir bukanlah tidak mungkin bisa dibuktikan. Yang penting ada kemauan untuk melatihnya. Bila kita malas, ogah-ogahan, gampang patah semangat, putus asa, sampai kapanpun kita tidak akan memiliki kemampuan untuk “melihat” kehidupan-kehidupan kita yang lampau.
Semoga cara atau teknik praktis ini dapat dipakai sehingga bisa membuahkan suatu hasil yang positif sesuai dengan keinginan kita untuk membuktikan adanya kelahiran kembali seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. Apabila kita bisa membuktikan ajaran Sang Buddha ini, maka sesungguhnya keyakinan kita kepada ajaran Sang Buddha dengan sendirinya akan segera timbul jauh lebih besar dan lebih mantap dibandingkan yang kita miliki pada saat ini.

Sumber: https://tisarana.net/ceramah/meditasi-sarana-pembuktian-adanya-kelahiran-kembali-oleh-ym-bhikkhu-uttamo-mahathera/

Sabar

Sabar

Oleh Rama Toni Yoyo

Di jaman sekarang yang serba cepat, canggih, dan menonjolkan keegoan, cukup sulit menemukan sosok orang sabar yang mampu memperlihatkan kestabilan emosi dan perasaannya dalam berbagai situasi dan kondisi.

Tetapi ada seorang kenalan saya yang bisa diberi label ’penyabar’ karena selalu sabar dan tersenyum dalam banyak situasi dan kondisi. Entahlah jika di belakang saya ternyata berbeda.

Dalam Dhammapada Bait 184, Sang Buddha mengatakan, ”Kesabaran adalah praktek bertapa atau pengendalian diri yang terbaik. Nibbana (Nirwana) adalah yang tertinggi. Begitulah sabda Para Buddha. Dia yang masih menyakiti dan menganiaya orang lain sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).”.

Para bhikkhu, penceramah agama, guru-guru agama, dan orang-orang bijaksana bukanlah guru-guru kesabaran yang terbaik. Mereka hanya bisa mengajarkan, menganjurkan dan mengajak berpraktek kesabaran. Akan tetapi mereka bukanlah pelaku langsung yang aktif dalam pembinaan kesabaran kita.

Seharusnya orang-orang yang menyulitkan dan berbuat tidak baik kepada kitalah yang merupakan guru-guru terbaik dalam latihan kesabaran. Demikian pula situasi dan kondisi sehari-hari yang kurang menyenangkan dan tidak memuaskan kita sesungguhnya pemberi pelajaran kesabaran terandal bagi kita.

Kesabaran tidak memadai jika hanya dipelajari teorinya saja. Yang terutama dibutuhkan adalah praktek melalui latihan rutin dalam kehidupan kita setiap hari. Tanpa praktek langsung, kita hanya ‘bermain’ kesabaran dalam tataran pemikiran saja atau paling jauh sampai pada level ucapan, tetapi tidak melangkah sampai praktek secara fisik jasmani melalui perbuatan badan kita.

Sang Buddha pernah diundang oleh seorang brahmana untuk menerima dana di rumahnya. Bukannya menyambut dan melayani Beliau dengan baik, brahmana tersebut malah mencaci maki dan menghina Sang Bhagava dengan kata-kata yang paling kasar dan menyakitkan.

Setelah brahmana selesai dengan ‘semprotan’nya, Sang Buddha dengan lembut bertanya, “Apakah sering ada tamu datang ke rumahmu, brahmana ?”. “Ya”, jawab brahmana. “Apa yang engkau lakukan jika para tamu datang ?”. “Tentu aku sediakan jamuan besar untuk menyambut mereka”. “Bagaimana jika mereka tidak menyentuh atau menghabiskan jamuan tersebut ?”. “Dengan senang hati kami yang akan menghabiskannya.” Setelah percakapan ini, Sang Buddha menutup dengan kalimat, “Brahmana yang baik, engkau telah mengundang-Ku kemari untuk berdana dan menjamu-Ku dengan kata-kata kasar yang sama sekali tidak kuterima dan membekas dalam diriku. Jadi ambillah semuanya kembali untukmu”.

Seorang Buddha-pun masih menghadapi orang, situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan, apalagi kita sebagai umat biasa. Dalam keseharian, akan banyak ketidakbaikan dan ketidakenakan menghampiri kita. Marilah kita mencontoh Sang Buddha dalam mempraktekkkan kesabaran walaupun tentu kualitas dan kemampuan kita bersabar kita masih jauh dari Junjungan kita tersebut.

Sumber: https://dhammacitta.org/artikel/toni-yoyo/sabar-1.html

Karakteristik Buddhis

Karakteristik Buddhis

Oleh PMy. Rudi Hardjon Dhammaraja

Hingga saat ini, ajaran Buddha yang dikenal dengan Buddhasasana, Buddhadhamma, Dhamma, atau Dhamma Vinaya telah berusia lebih dari 2500 tahun. Jikalau dihitung mulai dari pembeberan Dhamma pertama dengan judul “Dhammacakkappavattana Sutta : Kotbah tentang pemutaran roda Dhamma” kepada lima pertapa (sekitar 588 S.M. di Taman Rusa Isipatana) kendati pertama kalinya di hari ke-50 setelah Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna, Buddha memberikan nasihat Dhamma kepada dua orang pedagang (Bhallika dan Tapussa) yang sedang lewat di dekat Buddha sedang duduk, maka tahun 2006 ini Dhamma telah berusia 2595 tahun. Dengan usia yang cukup tua tersebut, tentunya Buddhadhamma memiliki ciri tersendiri dan memiliki khasnya sendiri pula. Dan tentunya ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan ajaran-ajaran yang lain serta tidak dapat ditarik suatu garis persamaan. “Kita harus berani tampil BEDA”. Untuk itu, seyogyanya kita umat Buddha dapat mengetahui dan memahami Dhamma; ajaran Buddha agar kita dapat melihat keistimewaan atau khasnya Buddhis dan yang menarik minat banyak pihak untuk menganut Buddhadhamma.

Sejak tahun 588 S.M. Buddha membeberkan Dhamma hingga detik terakhir Beliau wafat (mencapai Parinibbana) pada tahun 543 S.M., maka Buddha membeberkan Dhamma selama 45 tahun. Angka ini adalah merupakan angka yang paling besar dan paling lama mengajar Dhamma dari guru-guru spritual lainnya di dunia ini. Tak mengherankan bila kitab suci Tipitaka merupakan kitab yang paling tebal dan isinya adalah keseluruhan kotbah yang disampaikan Buddha diberbagai tempat dan kepada berbagai suku. Dan kepiawaian Beliau dalam membeberkan Dhamma adalah menggunakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum kala itu, yakni bahasa Pali. Sedangkan bahasa Sanskerta adalah bahasa bangsawan dan paling sedikit digunakan oleh Buddha dalam membeberkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya. Penggunaan bahasa rakyat jelata adalah menunjukkan bahwa Buddha merupakan seorang yang low profile, rendah hati, tiada sombong, dan tidak memandang sebelah mata masyarakat grass-roots.

Dhamma ajaran Buddha bagaikan sebuah rakit yang berfungsi sebagai alat penyeberang. Kalau rakit dapat menyeberangkan orang ke pantai seberang, sedangkan Dhamma adalah alat untuk mencapai Nibbana, pencapaian pembebasan dari dukkha. Mereka yang melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang-orang yang berada disekitarnya.

Buddhadhamma merupakan ajaran yang dibeberkan dan dikumandangkan oleh Buddha Gotama yang berasal dari anak Raja Sudodhana penguasa Kapilavatthu. Karena ketidak-inginan Beliau akan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya dan Beliau memiliki kecenderungan untuk hidup bebas dan penuh ketenangan, maka Beliau meninggalkan istana kerajaan yang menawarkan kemelekatan duniawi, sementara Beliau memilih untuk bebas dari keterikatan duniawi. Pada akhirnya Beliau keluar dari istana untuk mencari obat agar dapat membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang pada akhirnya membawa dukkha. Setelah melakukan pengasingan selama enam tahun di hutan Uruvella, Beliau memperoleh pencerahan. Pencerahan inilah yang kemudian Beliau kumandangkan kepada dunia melalui dua orang pedagang yang bernama Bhallika dan Tapussa, selanjutnya kepada Pertapa Kondanna, Pertapa Vappa, Pertapa Bhaddiya, Pertapa Mahanama, dan Pertapa Assaji.

Berikut ini akan dibahas tentang ciri-ciri atau sifat khas ajaran Buddha, yakni :

  1. Dukkha, ketidakpuasan, hal ini adalah menjadi ajaran utama Buddha Gotama di dalam pembeberan Dhamma yang pertama. Buddha tidak menyembunyikan fakta hidup bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpuasan. Dengan fakta ini, maka Buddha menjelaskan dengan terperinci tentang ketidakpuasan, dasar-dasar ketidakpuasan, sebab-sebab akhir atau lenyapnya ketidakpuasan dan kemudian cara-cara untuk melenyapkan ketidakpuasan. Jadi dalam hal ini banyak orang yang tidak memahami atau mempelajari keseluruhan dari ajaran tentang dukkha, sehingga banyak yang salah mengerti dan salah memandang tentang ajaran Buddha. Karena kesalahpandangan dan kesalahpahaman tersebut menyebabkan banyak orang berpandangan bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan tentang kebahagiaan, sehingga ajaran Buddha digolongkan menjadi ajaran pesimis. Moni Bagghee, “Our Buddha” : Analisa Rasional – Buddhadhamma merupakan satu-satunya agama besar di dunia ini yang secara sadar dan terus terang berlandaskan kepada suatu analisa rasional yang sistematis terhadap problem-problem kehidupan serta jalan pemecahannya. Dr.K.N.Jayatilleke,”Buddhism and Peace : Fakta Realitas yang Terakhir”. Di sini adalah perlu untuk diberikan perhatian kepada sifat unik lainnya dari Buddhadhamma, yakni bahwa ia adalah satu-satunya ajaran dari seorang guru, yang merupakan hasil dari filosofi yang konsisten, yang dengan tegas memberitahukan kita mengenai fakta kehidupan dan realitas yang terakhir. Buddhadhamma adalah suatu pedoman hidup yang dihasilkan dari penerimaan terhadap kehidupan, yang dikatakan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Filsafatnya bukanlah tanpa memperhitungkan sifat alamiah dari pengetahuan.
  2. Buddha, seorang yang objektif, Buddha adalah seorang yang Rasionalis dan Objektif, pernyataan ini dapat dilihat dari apa yang Beliau ajarakan kepada kita. Beliau dengan bijaksana menunjukkan kepada kita tentang perbuatan baik lengkap dengan buah-buah yang akan dinikmati oleh si pelaku, demikian pula tentang perbuatan buruk serta akibat yang akan dialami oleh mereka yang melakukan kejahatan. Dengan demikian, Buddha menyerahkan remote control kepada kita masing-masing, mana yang akan kita pergunakan “apakah yang baik atau yang buruk ?”. Dr. S. Radhakrsishnan, “Gautama The Buddha : Kita Terkesan oleh Semangat Rasionalitas-Nya”. Tatkala kita membaca kotbah-kotbah-Nya, kita terkesan oleh semangat rasionalitas-Nya. Jalan etika Buddha yang pertama ialah pandangan/pengertian benar, suatu pandangan yang rasional. Beliau berusaha menyingkirkan segala perangkap yang merintangi pandangan /penglihatan manusia terhadap dirinya sendiri serta nasibnya.
  3. Ehipassiko, datang, lihat, dan buktikan, Ven.Dr.W.Rahula, “What the Buddhis Taught” Buddhadhamma adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Buddha memenuhi syarat sebagai Ehipassiko, mengundang Anda untuk datang, dan membuktikan, bukannya datang dan percaya. Berkaitan dengan ini berarti prinsip Buddhis bukan “Datang dan Percayalah” akan tetapi “Datang dan Buktikanlah atau mari buktikan”. Dari pernyataan di atas jelaslah bahwa ajaran Buddha berkecenderungan beranjak dari pengetahuan atau ilmiah dan bukan berdasarkan kepercayaan yang membuta. Sesungguhnya keyakinan seseorang menjadi kuat apabila sesuatu yang menjadi dasar pengetahuan mereka karena telah membuktikan kebenaran tersebut secara akurat ketimbang hanya percaya pada apa yang tertulis kendatipun itu berasal dari kitab suci yang diyakini.
  4. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada tempat bagi siapa pun untuk pergi berlindung selain berlindung pada dirinya sendiri. Para Buddha hanyalah sebagai penunjuk Jalan, kita-lah yang harus menapaki Jalan tersebut. Buddhadhamma mengandalkan diri sendiri daripada diluar diri sendiri. Dalam tradisi Buddhis tidak mengenal sistem permohonan atau permintaan untuk menjadi bahagia, sehat, kuat, maupun kaya ataupun enteng jodoh. Menurut Dhamma, kebahagiaan, kesehatan, kekuatan, kaya maupun enteng jodoh tidak dapat diperoleh dengan cara meminta dan memohon, namun dapat diperoleh dengan membuat sebab-sebabnya agar menimbulkan akibat. Dengan penjelasan ini jelaslah bahwa umat Buddha bukan penyembah berhala, seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Umat Buddha melakukan pujabhatti adalah sebagai wujud penghormatan kepada Buddha sebagai guru yang telah menjadi teladan dan menunjukkan jalan kebenaran bagi kita. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa Buddharupang yang berada di atas altar adalah merupakan simbol dari visi ajaran Buddha, yakni mencapai Nibbana. Cara penghormatan yang dilakukan adalah merupakan tradisi masyarakat setempat atau merupakan budaya India.
  5. Diri sendiri adalah sumber kebajikan dan kejahatan, Buddha bersabda yang terdapat dalam Dhammapada bahwa yang menjadi sumber kebajikan dan kejahatan adalah perbuatan seseorang. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang berawal dari lobha/keserakahan, dosa/kebencian, dan moha/kebodohan (Ti-akusala mula : tiga akar kejahatan) serta alobha/ketidakserakahan, adosa/ketidakbencian, dan amoha/ketidakbodohan (Ti-kusala mula : tiga akar kebajikan). Dan perbuatan pula yang menjadikan seseorang menjadi suci ataupun tidak suci. Bukan Buddha ataupun Tuhan yang menjadi sumber kebajikan dan bukan pula setan atau iblis yang menjadi sumber kejahatan. Dengan demikian tiada seorangpun yang bisa dipersalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Tidak bijaksana pula bila kita mempersalahkan setan dan iblis yang telah menggoda manusia untuk melakukan kejahatan. Bila memang setan dan iblis kerjanya adalah menggoda manusia, maka timbul pertanyaan mengapa manusia bisa tergoda ? Dalam hal ini kesadaran seseorang sangat-sangat dibutuhkan. Bila seseorang telah memiliki kesadaran, maka manusia dapat memilah-milah antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Dengan mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik maka seharusnya terus dilakukanlah, akan tetapi apabila hal tersebut tidak baik atau jahat maka hindarilah, jangan dilakukan.
  6. Pemberi dana berterima kasih kepada penerima, pada umumnya si penerima berterima kasih kepada pemberi. Berbeda halnya dalam Buddhism, si pemberilah yang mengucapkan terima kasih, alasannya karena penerima dana telah memberi kesempatan kepada pemberi dana untuk membuat kamma baik. Kendati demikian bukan berarti bahwa pemberi dana tidak perlu mengucapkan terima kasih. Mengucapkan terima kasih adalah merupakan perbuatan balas jasa. Hal ini juga merupakan hal yang baik. Namun bukan karena seseorang telah memberi lantas berkeinginan untuk menjadi penguasa atau bertindak angkuh dan sombong. Jadi karena orang yang menerima telah memberi peluang kepada pemberi melakukan jasa kebajikan, sepantasnya-lah si pemberi mengucapkan terima kasih.
  7. Menggunakan Alat sebagai tanda penghormatan atau terima kasih, selesai mencapai Pencerahan, Buddha Gotama selama satu minggu melihat pohon Bodhi sebagai tanda terima kasih Beliau kepada pohon Bodhi yang telah memberikan pernaungan dalam merealisasikan Pencerahan. Demikian pula halnya umat Buddha belajar dari Guru Agung Buddha Gotama yang telah berjasa dalam pembabaran kebenaran yang membawa kebahagiaan, kedamaian, dan Pencerahan. Umat Buddha tidak menyembah patung untuk meminta dan memohon apapun, akan tetapi umat Buddha menyatakan sujud dan bhatti atas tauladan yang diberikan Buddha Gotama serta menjadi motivasi dalam meraih kesuksesan hidup dan Pencerahan untuk jangka panjang.

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang karakteristik Buddhis, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan menjadi dasar kita berpikir. Setelah memiliki pemikiran Buddhistis, kita juga seharusnya tidak berhenti hanya pada pemikiran saja, namun sebaiknya pemikiran tersebut menjadi dasar pula untuk dipraktikkan di dalam keseharian. Perbuatan inilah yang sesungguhnya diharapkan sebagai umat Buddha yang mengerti Dhamma.

Sumber: https://dhammacitta.org/artikel/rudi-hardjon-dhammaraja/karakteristik-buddhis.html