Catatan Singkat ber Dhammayatta ke India dan Nepal Oleh PMy. Gunawan Sutardi
29 oktober – 7 November 2013
Pada hari itu, Selasa 29 Oktober 2013 cuaca Jakarta agak terik. Saya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta menggunakan taxi dari Emporium Pluit Mall, di mana sebelumnya diantar oleh Bajaj dari rumah, karena untuk mendapatkan taxi dari rumah harus memerlukan waktu.
Kira-kira jam 12.00 saya tiba di terminal pemberangkatan 2D luar negeri,di mana sebelumnya sudah diberitakan via sms oleh Bapak Suhardiman selaku Panitia Dharmayatra dari Yayasan Hadaya Vatthu. Setelah memberitahukan kehadiran, sambil menunggu peserta yang belum datang, kami menunggu beberapa saat sebelum masuk ke dalam Bandara.
Setelah melewati beberapa tahapan di dalam Bandara seperti : bagasi, pengecekan oleh petugas imigrasi,serta pengecekan keseluruhan barang-barang yang dibawa secara hand carrier, kami menunggu beberapa saat sebelum diberitahukan bahwa Airline yang kami gunakan yakni Mihin Lanka dengan kode penerbangan MJ 604 dimana jadwal keberangkatan jam 14.30 dari Bandara Soekarno Hatta ditunda 30 menit, karena keterlambatan kedatangan pesawat. Sekitar jam 15.00, kami penumpang pesawat Air Bus A320 Mihin Lanka dipersilahkan naik ke pesawat.
Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Bandaranaike International Airport Colombo ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih 4 jam menyusuri tepi pantai kepulauan Sumatera dan kira-kira rombongan tiba di Bandara Bandaranaike International Airport Colombo jam 18.30 waktu setempat, dimana perbedaan waktu antara Jakarta dengan Colombo 1 ½ jam.
Sepintas Bandara Bandaranaike International Airport Colombo seperti Bandara Soekarno Hatta, Cuma tidak seramai Bandara Soekarno Hatta baik pesawat maupun penumpangnya. Kami dijemput oleh Bus yang membawa kami menuju penginapan Camelot Beach Hotel di daerah Negombo, Colombo. Acara selanjutnya makan-makan dan perkenalan.
Pada hari ke 2 (30 Oktober ’13)
Setelah beristirahat di malam hari, kami mendapatkan sarapan pagi yang disediakan oleh Panitia. Agak santai kami berada di hotel, karena jadwal acara sampai siang hari hanya check-in di Bandara Bandaranaike International Airport untuk menuju Varanasi setelah tertunda 1 jam, karena bus penjemput belum datang, akhirnya pada saatnya kami bisa melanjutkan penerbangan ke Varanasi pada waktunya Jam 14.45 waktu setempat. Sekilas di sepanjang perjalanan dari hotel – Airport, kami melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Colombo tidak sesibuk di kota-kota besar di Indonesia.
Sekitar jam 18.00 waktu setempat, kami tiba di Varanasi (India). Menurut informasi yang kami dengar dari Tour Leader yang menyertai perjalanan kami, Varanasi adalah nama sebutan tempat yang biasa diucapkan oleh umat Hindu, sedangkan Benares yang biasa disebut oleh umat Buddha. Kata Varanasi berasal dari nama 2 sungai yang berada di tempat tersebut yaitu Sungai Varuna dan Sungai Asi.
Penduduk kota Varanasi berjumlah 3 juta jiwa, dimana 80% penduduknya beragama Hindu pengikut Dewa Siwa dan sisanya campuran beragama Buddha, Katholik dan Muslim. Menurut Tour Leader kami, Varanasi merupakan salah satu dari 4 kota tertua di dunia selain Beijing, Jerusalem dan Mesir.
Setibanya kami di kota Varanasi (Benares), rombongan langsung menuju Sungai Gangga yang merupakan sungai tertua di dunia dan dihormati terutama oleh Umat Hindu. Pada malam hari itu, kami melihat upacara kremasi jasad di beberapa tempat di pesisir kanan Sungai Gangga yang kami lalui. Setelah melakukan ritual melepas persembahan di Sungai Gangga berupa lilin (Saya tidak ikut ritual tersebut, karena dapat mengotori Sungai Gangga dan saya hanya melakukan pelimpahan jasa) rombongan kembali ke tempat semula dengan melanjutkan perjalanan ke Wat Thai Sarnath, tempat kami makan malam dan menginap.
Pada hari ke-3 (31 Oktober ’13)
Di hari ke 3, pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan sarapan. Sehabis sarapan kami berjalan-jalan di area Vihara (Wat) dan masuk ke dalam Dhammasala, dimana terdapat 3-4 Bhikkhu sedang melantunkan paritta, kami mengikuti dengan mengambil tempat duduk beberapa meter di belakang para Bhikkhu. Sehabis puja bakti kami beramah tamah sejenak dengan salah satu Bhikkhu dan kebetulan diantara kami ada yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Thailand, karena pernah tinggal di Thailand selama 4 tahun, yaitu Romo Suyanto dari Bandung.
Dari Dhammasala, kami melihat-lihat pada area lainnya, tepatnya kami mengunjungi patung Buddha Gotama dalam posisi berdiri. Patung tersebut teramat Agung bagi kami. Namo Buddhaya, demikian kami mengucapkan sambil tangan beranjali dan menundukkan badan.
Tepat pukul 07.00 pagi waktu setempat, rombongan memulai untuk ber-Dhammayatta. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Taman Rusa Isipatana, Benares yang hanya ditempuh beberapa menit dari Wat Thai. Suatu komplek situs peninggalan Buddha Dhamma yang cukup luas, dimana dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang terbuat dari lempengan batu bata dengan ketinggian tertentu.
Pada waktu kami memasuki komplek tersebut terdapat rombongan dari Thailand yang sedang memanjatkan paritta-paritta suci, kemudian rombonganpun tidak mau ketinggalan dengan memajatkan paritta-paritta suci serta berpadakkhina sebanyak 3 kali yang dipimpin oleh Romo Suyanto.
Taman Rusa Isipatana dikenal sebagai tempat dimana untuk pertama kalinya Buddha Gotama memutar Roda Dhamma dengan Dhammacakkappavattana Suttanya yang sangat terkenal, dimana didalamnya terdapat Catur Ariya Saccani dan Ariya Atthangika Magga.
Pada situs ini terdapat situs peninggalan Mulagandha Kuti, dimana kuti ini dipakai oleh Sang Buddha untuk bermeditasi, dengan berukuran pada masing-masing sisinya 18,29 meter dengan tinggi 61,0 meter menurut musafir dari China Hiuen Tsang, juga pilar Raja Ashoka ( 272-232 SM) serta stupa sangat megah Dhammek Stupa.
Disamping itu terdapat Panchay Tan Temple, konon tempat ini diyakini sebagai tempat Pancavaggiya (Y.M Bhikkhu Kondañña, Assaji, Vappa, Mahanama dan Bhaddiya) berdiskusi. Komplek situs peninggalan ini semuanya dibangun oleh Raja Ashoka. Rombongan sempat berkunjung ke Vihara Sri Lanka yang berada berdampingan dengan komplek Situs Taman Rusa Isipatana yang dibangun oleh Anagarika Dharmapala.
Sebelum kembali ke Wat Thai rombongan mampir ke Museum Arkeologi Sarnath. Sayangnya, didalam museum rombongan tidak diperkenankan mengambil gambar/photo. Didalam museum ini, tersimpan :
1. Bagian atas (patung singa 4 posisi) asli pilar Ashoka
2. Patung Bodhisatta berdiri pertama kali
3. Patung Buddha Gotama dengan sikap tangan memutar Roda Dhamma/Dhammacakkappavattana yang ditemukan pada Mulaganda kuti Buddha dikomplek Taman Rusa Isipatana.
Rombongan kemudian kembali ke Wat Thai untuk makan siang dan check out untuk melanjutkan perjalanan ke Shrasvati. Perjalanan dari Varanasi/Benares menuju Shrasvati sepanjang 370 km ditempuh dalam jangka waktu ± 10 jam, melewati Jainpur karena pada daerah-daerah tertentu yang dilalui oleh Bus yang mengangkut rombongan kami kondisi infrastrukturnya kurang menguntung selain jalanan yang kurang lebar, juga tidak beraspal. Rombongan tiba di kota Shrasvati (Savatthi) menjelang jam 11.00 malam dan menginap di hotel Pawan Palace
Pada hari ke 4 (1 November ’13)
Esok pagi dihari ke 4, rombongan sudah memulai kunjungan ke Jetavana Arama milik hartawan Anāthapindika. Arama dimana Sang Buddha menyampaikan Mangala Sutta (Sutta Tentang Berkah Utama) sebagaimana diketahui dari cerita Buddhis bahwa hartawan Anāthapindika membeli tanah milik Pangeran Jeta tersebut dengan nilai yang luarbiasa, yaitu menutupi semua tanah untuk arama tersebut dengan kepingan emas dan ada bagian tertentu tanah tersebut dimana Pangeran Jeta sendiri berdana untuk Arama.
Rombongan memasuki area tersebut diwajibkan memakai pakaian serba putih. Setelah melakukan Puja bakti yang dipimpin oleh Bhikkhu setempat, rombongan beranjak ke situs peninggalan rumah hartawan Anāthapindika dan goa Angulimala sebelum kembali ke hotel untuk makan siang.
Sehabis makan siang, rombongan menuju Taman Lumbini yang berjarak 250 km dari Shrasvati / Savatthi dan ditempuh dalam jangka waktu > 7 jam . Rombongan langsung menuju Hotel Zambala di Mahilwar, Rupandehi, Lumbini (Nepal) untuk makan malam dan beristirahat.
Pada hari ke 5 (2 November ’13)
Kami anggota rombongan Hadayavatthu sudah siap-siap untuk melihat dari dekat Taman Lumbini termasuk check out dari hotel. Rombongan tiba dipintu masuk Taman Lumbini sekitar jam 07.00 lewat beberapa menit, karena sebelumnya sudah diberitahukan oleh Sdri Stephani selaku pimpinan rombongan untuk secepatnya mengadakan perjalanan ke Kushinagar/Kusinara yang akan memakan waktu perjalanan selama 6 jam.
Setiap peserta rombongan diangkut oleh riksaw/sejenis becak dengan pengayunnya berada di depan penumpangnya untuk sampai di situs Lumbini yang diyakini tempat kelahiran Bodhisatta Pangeran Siddhartta yang kelak menjadi Buddha.
Didalam situs, rombongan sempat melakukan padakkhina dan diluar situs, rombongan melakukan meditasi. Setelah seluruh peserta puas melihat-lihat di area Taman Lumbini, rombongan melaju menuju Kushinagar/Kusinara dengan makan siang di dalam bus.
Setiba di Kushinagar/Kusinara, rombongan langsung menuju situs peninggalan Sang Buddha mencapai Parinibbana dibulan Waisak di usia 80 tahun. Sebelum memasuki area komplek panitia mempersiapkan jubah yang akan diselimuti pada patung Sang Buddha dalam posisi tidur. Setelah memasuki Vihara, rombongan melakukan puja bakti dengan memanjatkan paritta suci dan melakukan padakkhina sebanyak 3 kali.
Selanjutnya rombongan menuju Wat Thai di Kushinagar untuk makan malam dan beristirahat. Tanpa dinyana kami bertemu dengan rombongan Y.M Bhikkhu Wongsin dari Vipassana Graha Bandung yang terdiri dari beberapa upasaka-upasika dan pabbaja Samanera sementara diantaranya Samanera Katthika /anak mendiang Romo Yos.
Dihari-hari berikutnya, rombongan menuju Vaishali dengan mengunjungi Pilar Asokha dan situs peninggalan lainnya di Kesariya, Hutan Uruvela dan rumah Ibu Sujata yang telah berdana makanan kepada pertapa Siddhatta sebelum mencapai penerangan sempurna serta sungai Neranjara yang sedang mengering. Akhirnya kami sampai juga di Bodh Gaya pada malam hari dan menuju Wat Buddhasavika (Thai Nun) untuk makan malam dan beristirahat
Keesokan harinya, barulah rombongan berDhammayatta kekomplek situs peninggalan di Bodh Gaya satu tempat yang sangat diyakini oleh Umat Buddha, dimana pertapa Siddhatta mencapai Penerangan Sempurna dibawah pohon Bodhi lewat perjuangan yang luar biasa dengan mengalahkan Mara sebelumnya.
Didalam komplek tersebut terdapat Vihara Mahabodhi yang mempunyai ketinggian 58 meter yang dibangun oleh Raja Ashoka. Arsitekturya yang indah dilengkapi oleh beberapa situs peninggalan diantaranya 7 tempat yang berbeda di sekitar area pohon Bodhi tersebut untuk mengalami kebahagiaan Pembebasan (Vimutti Sukha) selama seminggu pertama Sang Buddha duduk terus bermeditasi dengan merenungkan tentang Paticcasamupada. Selanjutnya, Sang Buddha bangkit dan berjalan ke arah timur laut. Dengan posisi berdiri Beliau selama seminggu menatap pohon Bodhi terus menerus tanpa berkedip sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada pohon Bodhi.
Selama seminggu berikutnya, Sang Buddha menciptakan yang disebut Ratanacaṅkama di udara lalu berjalan-jalan disana, guna menghapuskan keragu-raguan para Dewa, tentang Penerangan Sempurna yang telah di raih-Nya. Selanjutnya, Sang Buddha duduk di dalam Wisma Permata selama seminggu yang telah Beliau ciptakan untuk merenungkan tentang Abhidhamma Pitaka.
Diminggu berikutnya, Sang Buddha beralih duduk di bawah pohon Banyan tidak jauh dari pohon Bodhi untuk menikmati kebahagiaan pembebasan. Di minggu ini putri Mara – Tanha, Arati dan Raga datang untuk menggoda dengan berbagai cara. Pada kurun waktu seminggu ke 6, Sang Buddha pindah ke kaki pohon Mucalinda. Selama 7 hari ini dibawah pohon Mucalinda Sang Buddha menikmati kebahagiaan Pembebasan lagi. Pada waktu itu terjadi badai besar, yang diiringi oleh hujan lebat dan udara dingin, raja naga Mucalinda keluar dari kediamannya dan melilitkan badan ketubuh Sang Buddha untuk melindungi.
Dan selama seminggu terakhir/ minggu ke tujuh. Sang Buddha pindah dan duduk di bawah pohon Rajayatana di selatan pohon Bodhi dan bermeditasi kembali. Semua tempat ini masih dilestarikan dan dapat dilihat di komplek Bodh Gaya.
Dengan dipimpin oleh saya sendiri ditemani oleh Romo Suripto, Romo Suyanto dan Romo Warto serta peserta lainnya, kami memanjatkan Mangala Paritta dihadapan pohon Bodhi tempat pertapa Siddhattha mencapai Penerangan Sempurna.
Di dalam komplek situs Bodh Gaya ini kita akan mendapati tempat Sang Buddha melakukan meditasi berjalan / Caṅkamana. Sungguh memberikan getaran yang luar biasa kepada saya. Praktis di dalam komplek ini, peserta memerlukan waktu hampir 1 hari, karena banyak situs peninggalan yang perlu dilihat, dan menurut saya ber-Dhammayatta ke Bodh Gaya merupakan puncak acara berDhammayatta. Tempat yang terakhir kami kunjungi selama ber-Dhammayatta diantaranya : Bukit Gijjhakutta, Reruntuhan Universitas Nalanda dan penjara Raja Bimbisara.
Bukit Gijjhakutta di Rajagaha/Rajgir dikenal dalam cerita Buddhis, dimana Bhikkhu Devadatta yang berambisi menjadi Ketua Sangha ingin membunuh Sang Buddha dengan mendorong bongkahan batu besar dari atas bukit Gijjhakutta dan hanya menciderai ibu jari Kaki Sang Buddha. Bila kita melihat bukit Gijjhakutta memang bukit itu terdiri dari bongkahan batu besar.
Selanjutya rombongan mengunjungi reruntuhan Univeritas Nalanda yang konon memiliki 10.000 mahasiswa dan kebesaran bangunan Universitas tersebut berukuran panjang 10 Km dan lebar 5 Km. Universitas Nalanda merupaka tempat pembelajaran Agama Buddha dunia pada saat itu. Konon akhirnya Universitas Nalanda harus menghadapi kenyataan diserang oleh tentara invasit dan dibakar. Banyak mahasiswa dibunuh dan lari, karena mereka katanya tidak mau melukai/membunuh tentara yang menyerangnya. Luar Biasa! Pancasila Buddhis benar-benar dipraktekan oleh para Mahasiswa-mahasiswa Buddhis tersebut. Dan Universitas Nalanda itu dibakar, dimana apinya tidak padam selama 6 bulan. Maka dari iu beberapa dari kami, sempat melakukan pelimpahan jasa kepada makhluk-makhluk yang berada disekitar Universitas Nalanda.
Sambil jalan kembali ke Wat Thai di Gaya, rombongan sempat mampir pada situs peninggalan penjara Raja Bimbisara. Sebagaimana diketahui, Raja Bimbisara merupakan pendukung Buddha Sasana dan mempunyai putra bernama pangeran Ajatasattu. Konon pada waktu istri Raja Bimbisara yakni Ratu Dewi Vedehirajadevi mengidam ingin menghisap darah Raja Bimbisara dan diberikan oleh Raja Bimbisara. Setelah dewasa Pangeran Ajatasattu sering berteman dengan Bhikkhu Devadatta dan akhirnya menghasut, sehingga Pangeran Ajatasattu dinobatkan menjadi Raja menggantikan Raja Bimbisara yang kemudian dipenjarakan oleh anaknya sendiri.
Di dalam penjara Raja Bimbisara tidak diberikan makanan, maka dari itu sang istri selalu membaluri badannya dengan madu untuk Raja Bimbisara. Selama di penjara Raja Bimbisara rajin bermeditasi jalan / caṅkamana dan mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Akhirnya Raja Ajatasattu mengetahui kebiasaan Raja Bimbisara bermeditasi dan mengirim tukang cukur ke penjara Raja Bimbisara mengira anaknya sudah sadar akan kekeliruannya, namun apa yang terjadi ? Tukang cukur itu menguliti telapak kaki Raja Bimbisara sehingga meninggal dunia.
Demikianlah kisah yang tercatat didalam cerita Buddhis. Seorang anak kandung sampai hati membunuh Ayahnya sendiri akibat bergaul dengan Bhikkhu Devadatta. Raja Ajatasattu dan Bhikkhu Devadatta sekarang ini berada di Avici Niraya / Neraka Avici. Selesai sudah perjalanan Dhammayatta kami, begitu tiba di Wat Thai untuk beristirahat, karena esok hari hanya perjalanan dari Gaya menuju Airport di Varanasi untuk kembali ke Colombo.
Di Colombo, rombongan menginap selama 1 malam, sebelum keesokan harinya kembali ke Jakarta.
Kesimpulan :
Dhammayatta adalah suatu perjalanan untuk melihat lebih dekat situs-situs peninggalan Buddha Gotama sebagaimana yang dianjurkan oleh Sang Buddha sendiri kepada kita sebagai umat-Nya sehingga meningkatkan Saddha (keyakinan).
Saya takjub dan terheran-hera khususnya kepada hal bagaimana Sang Buddha setelah mencapai penerangan sempurna di Bodh Gaya berjalan ke Taman Rusa Isipatana di Benares / Varanasi untuk memutar Roda Dhamma yang berjarak ratusan kilometer antara Bodh Gaya- Benares.
Anumodana dan ucapan terima kasih :
1. Kepada Yayasan Hadayavatthu yang telah memberikan fasilitas kepada kami berempat (Pdt. Warto, P.My.Gunawan Sutardi, P.Md. Suripto, dan P.Md. Suyanto) untuk berDhammayatta dengan gratis.
2. Kepada Pengurus Pusat Magabudhi yang telah memberikan kepercayaan serta dukungan kepada kami untuk berDhammayatta tanpa diduga sebelumnya.
Referensi :
Kronologi Hidup Buddha oleh Bhikkhu Kusala Dhamma