oleh PP MAGABUDHI | Nov 2, 2013 | Kegiatan MAGABUDHI
1. Saat tahun baru, orang mengucapkan “Selamat Tahun Baru,Semoga tahun yang baru memberi kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua“. Banyak juga yang menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam tahun yang baru. Hal itu bermakna bahwa orang ‘berharap’ untuk dapat mencapai suatu ‘harapan’. Bolehkah umat Buddha ‘berharap’ dan adakah ‘harapan’ dalam agama Buddha ?
2. Terlepas dari boleh tidaknya berharap, pada umumnya orang selalu berharap dalam melakukan atau berbuat sesuatu. Contoh yang sederhana adalah dalam berdana. Orang yang tidak berdana berharap agar kekayaannya tidak berkurang karena dengan berdana maka ia pikir ia akan kehilangan sebagian kekayaannya. Sayangnya ia tidak tahu bahwa dengan berdana maka sebenarnya kekayaannya nantinya akan bertambah sebagai buah dari perbuatan berdana.
3. Ada yang berdana dengan berharap agar orang-orang mengetahui bahwa ia suka berdana, berharap agar terkenal sebagai orang yang murah hati, setidak-tidaknya tidak dikenal sebagai orang yang kikir. Dana seperti itu tentu akan memberikan buah, namun barangkali tidak begitu bermakna. Lebih baik daripada berdana seperti itu adalah berdana dengan berharap akan mendapat buah yang menyenangkan di kemudian hari, menjadi lebih kaya atau terlahir kembali di alam surga. Harapan itu mudah-mudahan akan tercapai bila berdana dilakukan dengan tulus.
4. Lebih baik lagi adalah apabila seseorang berdana dengan berharap bahwa dengan berdana maka rasa keakuannya akan berkurang. Berkurangnya rasa keakuan akan membuat seseorang menjadi lebih bahagia dan akan lebih mendekatkan dirinya kepada kebahagiaan tertinggi. Yang paling tertinggi tentu adalah apabila seseorang berdana tanpa berharap apa-apa, ada perbuatan berdana sebagai suatu hal yang seharusnya dilakukan tetapi tidak ada pandangan diri lagi tentang ‘siapa’ yang berdana. Bisakah kita ?
5. Banyak hal bermula dari berharap. Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang yang berbudi luhur bernama Sumedha. Suatu kali ketika Buddha Dipankara akan datangke daerah tempat ia berdiam. Sumedha bertugas membersihkan jalan yang akan dilalui oleh Buddha Dipankara. Tetapi ada satu bagian jalan yang masih tergenang air ketika Sang Buddha akan melewati tempat itu.Agar kaki Sang Buddha tidak terkotori, dengan penuh bakti Sumedha merebahkan badannya di atas tanah tersebut untuk menjadi tempat pijakan Sang Buddha. Pada saat itulah ia berharapagar ia pun dapat menjadi Buddha seperti Buddha Dipankaraagar dapat mengajarkan Dhamma pada umat manusia.
6. Sang Buddha Dipankara dengan kekuatan batinnya melihat bahwa harapanSumedha pada suatu waktu akan tercapai. Maka Sang Buddha menyatakan bahwa Sumedha pada suatu waktu pun akan menjadi Buddha. Sejak saat itulah Sumedha menjadi seorang Bodhisatta (calon Buddha).Setelah melalui banyak sekali kelahiran dan pengorbanan maka akhirnya Sumedha pun menjadi seorang Buddha, Buddha Gotama.
7. Ada cerita tentang seorang brahmana kerajaan Kosala bernama BÄvarÄ«. Setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya ia pergi ke selatan dan berdiam di sisi sungai Godavari. Ia sudah berusia 100 tahun ketika mendengar seorang SammÄ Sambuddha berada di kerajaan Kosala. Ia mengirim enam belas siswa utamanya untuk memeriksa kebenaran berita tersebut. Setelah mencapai Savatthi, para siswa utama itu merasa puas dengan mengetahui bahwa SammÄ Sambuddha sesungguhnyalah seorang Buddha.
8. Ketika salah seorang siswa memberi hormat dan menyampaikan salam atas nama gurunya yaitu BÄvarÄ« , Sang Buddha Gotama memberikan pemberkahan dengan kata-kata sebagai berikut :
Sukhito BÄvarÄ« hotu, sahasissehibrÄhmaṇo;
TvaṃcÄpi sukhito hohi,
ciraṃjÄ«vÄhi mÄṇavo
9. Artinya :
May Brahmin BÄvarÄ« be happy along with his disciples!
May you also be happy,
O Brahmin apprentice!
May you live long!
Dengan kata-kata tersebut Sang Buddha menyampaikan harapan agar brahmana BÄvarÄ«dan para siswanya berbahagia dan panjang umur.
10. Ada juga kisah Pangeran Nanda yang berharap memperoleh dewi yang cantik. Nanda adalah saudara tiri Buddha Gotama, yaitu putera Raja Suddhodana dan Pajapati Gotami. Pada hari pernikahannya, Sang Buddha membawanyake vihara dan menahbiskannya sebagai bhikkhu. Tetapi pikiran Nanda terbagi antara panggilan vihara dan tunangannya yang cantik. Dengan menggunakan kesaktian-Nya, Sang Buddha membawa Nanda ke surga Tavatimsa dan menunjukkan dewi-dewi surga yang memiliki kecantikan tak tertandingi. Sang Buddha menjanjikan bahwa Nanda bisa memperoleh mereka bila menjalani kehidupan sebagai bhikkhu yang baik.
11. Nanda kembali ke vihara dan bersedia melanjutkan kehidupannya sebagai bhikkhu. Tetapi ketika bhikkhu-bhikkhu lain mengolok-oloknya tentang tujuannya yang rendah, ia merasa malu dan berusaha sungguh-sungguh melatih diri sehingga mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat). Sang Buddha menyatakan Nanda sebagai siswa utama dalam hal menjaga kemampuan inderanya.
12. Harapan dalam bahasa Pali disebut Ä€sÄ, yang bermakna wish, desire, hope, longing. Asa merupakan langkah pertama Chanda.Chanda adalah keinginan yang tulus untuk berbuat atau mendapatkan sesuatu. Dapat berupa keinginan untuk mencapai Nibbana, menjadi siswa utama, raja, jutawan, dewa, berdana, menjalankan sila, berbuat kebajikan.Tentu harapan dan keinginan hanya dapat tercapai dengan viriya (semangat berusaha)
Chandavato kim nÄma kammaá¹ na sijjhati
Dengan keinginan yang tulus tidak ada yang tidak mungkin
Asa phalavati sukha
Harapan yang diikuti oleh upaya yang kuat membawa hasil yang baik dan kebahagiaan
13. Ven. Nyanatiloka Mahathera menyatakan : “Sesungguhnya agama Buddha adalah ajaran yang memberikan harapan, penghiburan dan kebahagiaan, sekalipun untuk mereka yang paling tidak beruntung. Suatu ajaran yang menawarkan harapan kesempurnaan dan kedamaian, tidak melalui keyakinan membuta atau doa, penyiksaan diri atau upacara semata, tetapi dengan melaksanakan secara sungguh-sungguh Jalan Mulia Berunsur Delapan.”
14. Sang Buddha menyatakan bahwa terdapat harapan bagi semua makhluk untuk mencapai kebahagiaan, sebagaimana terdapat dalam Udana VIII,3 :
“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
15. Ada ungkapan harapan yang belakangan ini sering dipergunakan umat Buddha yaitu menuliskan BBU, singkatan dariBuddha Bless You yang berarti ‘Buddha memberkahimu’. Ada sedikit diskusi berkenaan dengan penggunaan idiom ini. Bagi yang setuju, dinyatakan bahwa kata Buddha memberikan kekuatan bagi si penerima kata-kata itu. Bukankah benih Buddha ada dalam diri setiap makhluk?
16. Ada yang berpendapat, Sang Buddha sudah mencapai Parinibbana dan sudah terlepas dari ‘ada dan tiada’, bagaimana mungkin ‘memberkahi’? Jadi diusulkan mempergunakan GKBU – Good Kamma Bless You. Mungkin juga membingungkan, bagaimana perbuatan baik dapat ‘memberkahi’? Ada yang mempergunakan ungkapan yang lebih umum seperti SabbesattÄ bhavantusukhitattÄ – Semoga semua makhluk berbahagia (yang kalau disingkat menjadi SSBS atau SSMB). Singkatannya bisa agak membingungkan!
17. Mengucapkan Bless you merupakan kebiasaan yang sudah berusia ribuan tahun untuk mengharapkan kesehatan yang baik bagi seseorang yang baru saja bersin. Dulu orang percaya bahwa bersinakan mengakibatkan jiwa terlepas dari tubuh melalui hidung sehingga pengucapan Bless you adalah untuk mencegah hantu melakukan hal tersebut. Ada juga kepercayaan bahwa jantung akan berhenti sementara sementara ketika bersin dan mengucapkan Bless you merupakan cara untuk menyambut kembali orang tersebut kepada kehidupan. (The phrase “God bless you” is attributed to Pope Gregory the Great, who uttered it in the sixth century during a bubonic plagueepidemic – sneezing is an obvious symptom of one form of the plague). Di sisi lain Bless you dapat pula merupakan ungkapan rasa terima kasih seseorang kepada mereka yang telah berbuat baik kepada dirinya.
18. Kalau kalimat semoga semua makhluk berbahagia bermakna terlalu luas karena mencakup harapan akan kebahagiaan pada semua makhluk, bagaimana kalau harapan itu ditujukan kepada mereka yang dituju? Bagaimana harus diungkapkan harapan agar ‘Semoga engkau berbahagia’? Untuk itu terdapat istilah Sukhi hotu (May you be happy). Barangkali kata ini dapat dipakai untuk menggantikan istilah di atas. Jadi kalau penulis ingin menutup tulisan ini dan berharap agar para pembaca berbahagia, penulis akan menuliskan Sukhi hotu. Dan dalam hati pembaca dapat menjawabnya dengan : “Sadhu” (yang berarti baik, setuju, semoga demikian – It is well, an expression showing appreciation or agreement).
19. Kalau begitu, kepada pembaca semua diucapkan : “Sukhi hotu ! Semoga anda berbahagia!”
Oleh Dharma K. Widya
Sumber :
Abhidhamma sehari-hari – Ashin Janakabhivamsa
A Glossary of Pali and Buddhist Terms
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/bless-you_2
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=66797
http://people.howstuffworks.com/sneezing.htm
http://www.vridhamma.org/Was-Buddha-pessimist
Sang Buddha Penunjuk Jalan Kebahagiaan)
oleh PP MAGABUDHI | Apr 17, 2013 | Kegiatan MAGABUDHI
“Janganlah berbicara kasar kepada siapa pun, karena mereka yang mendapat perlakuan demikian akan membalas dengan cara yang sama. Sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada gilirannya akan melukaimu” Dhammapada X Danda-Vagga 133
Ucapan (komunikasi) adalah sesuatu yang harus dilakukan setiap hari untuk menyampaikan pesan. Pada jaman modern ini ucapan secara otomatis dapat dibagi menjadi 2 jenis:
1. Ucapan (komunikasi) melalui percakapan lisan
2. Ucapan(komunikasi) berupa pesan melalui media, contoh: SMS; BBM; YM dan lain sebagainya.
Karena perkembangan teknologi, jaman sekarang komunikasi banyak dilakukan melalui perangkat canggih, tetapi tetap saja merupakan salah satu cara komunikasi yang fungsinya adalah untuk menyampaikan pesan.
Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma kepada kita, salah satu ruas atau aspek dari Majjhima Pattipada (jalan suci beruas delapan) adalah Sammavaca, yaitu Ucapan Benar = Perkataan Benar. Terkadang tanpa kita sadari, ucapan/kata-kata yang tidak berguna ataupun melukai orang lain pernah meluncur dari mulut kita.
Ucapan dari seseorang bisa mencerminkan karakter orang tersebut. Banyak sekali manusia memakai kata “karakter” untuk menutupi kekurangannya dalam hal ini, bila ditegur mereka akan menjawab: “itu karakter saya, tidak gampang untuk diubah, harap maklumlah, katanya”.
Tetapi apabila seseorang mengerti Dhamma, maka dia bisa berpikir dan merenungkannya bahwa ucapannya akan mencerminkan karakternya, dan kemudian dia pasti akan bisa mengendalikan ucapannya dan selalu memperhatikan apa yang akan diucapkannya.
Sungguh baik mengendalikan perbuatan, sungguh baik mengendalikan ucapan, sungguh baik mengendalikan pikiran, sungguh baik mengendalikan indria. Bagi kita yang bisa mengendalikannya akan bebas dari penderitaan.
Hendaklah memberikan ucapan yang sopan kepada mereka yang perlu dihormati atau lebih tua, hendaklah memberikan ucapan yang berguna bagi mereka yang lebih muda, hendaklah memberikan ucapan yang memberikan semangat kepada mereka yang anggap kita lebih tua.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata. Dirangkum oleh PMd. Tonny Chew, Tanjungpinang 17 April 2013.
oleh PP MAGABUDHI | Apr 6, 2013 | Kegiatan MAGABUDHI
A. Pendahuluan
Masih banyak manusia pada kehidupan sekarang tidak menggunakan cinta kasih (mettÄ) sebagai dasar dalam pelaksanaan aturan kemoralan. Cinta kasih (mettÄ) dirumuskan sebagai keinginan akan membahagiakan semua makhluk tanpa kecuali (Wowor, 2005: 76). Pengembangan cinta kasih (mettÄ) ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, atau bahkan untuk semua makhluk.
Pembunuhan banyak terjadi. Salah satu penyebab pembunuhan adalah adanya kebencian atau rasa tidak suka terhadap orang lain maupun makhluk lain, misalnya binatang. Sebagai contoh, jika seseorang digigit nyamuk maka rasa benci terhadap nyamuk tersebut akan muncul dan menyebabkan seseorang membunuhnya, sedangkan kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Pembunuhan telah menjadi salah satu fenomena kehidupan modern; peperangan, konflik ras, peternakan binatang untuk sekadar melayani kebutuhan pasar manusia akan daging, dan penggunaan insektisida yang berbahaya (Sivaraksa, 2001: 88). Pembunuhan merupakan suatu contoh di mana tidak adanya cinta kasih antarsesama, baik kepada orang lain maupun makhluk lain termasuk binatang. Adanya pembunuhan berarti ada pihak yang dirugikan dan menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain. Pembunuhan menunjukkan tidak adanya kepedulian (cinta kasih) kepada sesama.
B. Cinta Kasih sebagai Landasan Keharmonisan
Mettãadalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri (Dhammasugiri, 2004: 21). Hal tersebut mencerminkan bahwa dengan melaksanakan cinta kasih maka akan dapat tercipta keharmonisan. Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti mempraktikkan prinsip tanpa kekerasan. Kejahatan adalah sumber adanya ketidakharmonisan. MettÄ adalah satu-satunya jawaban efektif bagi kekerasan dan penghancuran, baik dari senjata konvensional maupun peluru nuklir (Bogoda, 2003: 70). Seperti yang dialami Buddha sendiri ketika sedang bermeditasi kemudian diganggu oleh mara, dengan kekuatan cinta kasih panah dan lautan api tidak bisa melukai Buddha. Berdasarkan AÅ„guttara NikÄya (Hare, 2001: 103) manfaat dari mengembangkan cinta kasih adalah tidak ada api, racun, maupun pedang yang dapat melukainya. Cinta kasih merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang sebagai pencegah perbuatan buruk. Pengembangan cinta kasih bertujuan untuk memisahkan pikiran dari kebencian. Prinsip dari cinta kasih adalah tidak menyakiti, bebas dari rasa benci, dan permusuhan.
Sesuai dengan macam-macam cinta yang dikemukakan oleh Davids (1915: 159-162) yaitu adanya cinta keluarga dan saudara. Keharmonisan hendaknya tercipta sejak dalam lingkup keluarga. Hubungan antar anggota keluarga seharusnya didasari oleh cinta kasih. Setelah mengembangkan cinta kasih kepada keluarga, maka cinta kasih dikembangkan kepada sahabat atau teman. Keharmonisan akan terwujud dalam hubungan sahabat. Keharmonisan dapat terwujud dengan adanya cinta kasih karena cinta kasih dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagian semua makhluk tanpa kecuali. Setelah mengetahui manfaat dari cinta kasih maka akan dapat diketahui bahwa cinta kasih dapat membawa keharmonisan di masyarakat. Pengembangan cinta kasih terdapat unsur menghormati dan kepedulian kepada yang lain. Adanya saling menghormati dan saling peduli akan tercipta keharmonisan. Cinta kasih atau mettÄ sering dikatakan sebagai keinginan suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya (Wowor, 2005: 76). Adanya keinginan atau niat seseorang untuk kesejahteraan dan kebahagiaanorang lain maka akan menciptakan keharmonisan. MettÄ menambah kemurahan hati pada sifat seseorang, memberikan keakraban, membebaskan diri dari kejengkelan dan selalu menimbulkan kegembiraan, keramah-tamahan serta tidak ada rasa permusuhan atau keinginan untuk menyakiti makhluk lain bahkan terhadap makhluk yang paling kecil sekalipun, yang biasanya disebabkan karena kebencian, kemarahan atau hanya karena iseng (Ñanasamvara, 2001: 15). Kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Apabila dalam hubungan antara satu dengan yang lain tidak terdapat kebencian dan permusuhan maka dapat tercipta keharmonisan dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Cinta kasih dapat menciptakan keharmonisan.
Seseorang dalam menjalani kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, keharmonisan sangat diharapkan. Untuk menciptakan keharmonisan maka diperlukan saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, dan saling menghindari percekcokkan. Ada beberapa cara agar terwujud keharmonisan, salah satunya yaitu dengan mengembangkan cinta kasih. Berdasarkan SÄrÄņīyadhamma Sutta, AÅ„guttara NikÄya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya, akan tercipta pengembangan cinta kasih. Pengembangan cinta kasih melalui perbuatan di antaranya dengan cara ringan tangan membantu sesama. Pengembangan cinta kasih dilakukan dengan kelembutan dan kasih, sehingga yang ada hanya rasa kasih, bahagia dan damai, baik memberi atau menerima pertolongan. Pengembangan cinta kasih melalui ucapan, diantaranya menghindari bicara kasar, memfitnah, omong kosong, dan berbohong. Bertutur kata yang ramah, sopan santun maka akan tercipta keceriaan, tidak akan ada pertengkaran, keributan, dan permusuhan. Kitab Dhammapada, Khuddaka NikÄya (Norman, 2004:1) menyatakan ”For not by hatred are hatreds ever quenched here, but they are quenched by non-hatred. This is the ancient.” Pengembangan cinta kasih melalui pikiran diantaranya dengan melatih pikiran untuk selalu menyertai dan melandasi pikiran dengan cinta kasih, sehingga akan terpancar melalui wajah sinar kasih yang mengalir setiap saat. Pada akhirnya tidak akan ada curiga, salah sangka, ingin menyakiti dan rasa benci.
Mettã merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya membawa kebahagiaan kepada dirinya sendiri tetapi juga untuk makhluk di sekitarnya (Janaka, 2003: 78). Untuk mempraktikkan cinta kasih, seseorang harus bebas dari sifat mementingkan diri sendiri. Siapa pun yang bertemu dengan orang yang memiliki kekuatan cinta kasih akan turut merasa bahagia, damai, dan tenteram. Cinta kasih merupakan kekuatan yang dihimpun dengan suatu pengharapan agar kebahagiaan dan kedamaian melingkupi seluruh kehidupan semua makhluk.
Pengembangan cinta kasih ditujukan kepada semua makhluk, misalnya kepada binatang, dan makhluk yang tidak tampak. Keharmonisan yang ditimbulkan dari pengembangan cinta kasih tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi keharmonisan manusia dengan binatang, dan keharmonisan manusia dengan makhluk halus atau makhluk tidak nampak. Contoh dari pengembangan cinta kasih antara manusia dengan binatang dan makhluk halus, yaitu tidak mengganggu antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Tidak mengganggu maka keharmonisan akan tercipta. Pengembangan cinta kasih tidak memandang makhluk apa pun, baik yang dikenal atau tidak, apakah makhluk tersebut tampak atau tidak, apakah makhluk tersebut adalah seorang musuh, atau seseorang yang sangat dicintai, atau bahkan makhluk tersebut adalah binatang. Kesemua jenis makhluk diberikan pancaran cinta kasih. Seperti yang terdapat dalam MettÄ Sutta (Norman, 2001: 19) bahwa:
Whatever living creatures there are, moving or still without exception, whichever are long or large, or middle-sized or short, small or great, whichever are seen or unseen, whichever live far or near, whichever they already exist or are going to be, let all creatures be happy minded.
Cinta kasih tidak hanya menciptakan keharmonisan dalam hubungan keluarga, sahabat, maupun masyarakat tetapi dapat menciptakan keharmonisan dunia, yaitu keharmonisan antara manusia dengan alam sekitar, baik dengan makhluk halus atau bahkan binatang. Tidak akan ada kebencian di dalamnya. Cinta kasih bukanlah persaudaraan yang berdasarkan politik, ras, bangsa, atau pun agama (Wowor, 2005: 77). Cinta kasih dikembangkan tidak memandang kepada siapa pun. Cinta kasih yang dipancarkan bukanlah perasaan cinta atas nafsu, tetapi cinta kasih dikembangkan seperti yang disebutkan dalam MettÄ Sutta (Norman, 2001: 19) yaitu:
Just as a mother would protect with her life her own son, her only son, so one should cultivate an unbounded mind towards all beings, and loving-kindness towards all the world. One should cultivate an unbounded mind, above and below and across, without obstruction, without enmity, without rivalry.
Perasaan cinta kasih yang dimiliki oleh seorang ibu bukan cinta yang didasarkan atas nafsu untuk memiliki, tetapi keinginan yang murni untuk menyejahterakan dan membahagiakan anaknya. Pengembangan cinta kasih yang dimiliki seorang ibu kepada anaknya yang tunggal adalah yang diharapkan dalam pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, yaitu pengembangan cinta kasih yang terwujud dalam keinginan sepenuh hati untuk menyejahterakan dan membahagiakan semua makhluk tanpa kecuali, dan cinta kasih dipancarkan ke segala penjuru, begitu pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, ke semua arah. Seperti yang dijelaskan dalam Vatthûpama Sutta, Majjhima NikÄya(Horner, 2000: 48) yaitu:
He dwells, having suffused the first quarter with a mind of friendliness, likewise the second, likewise the third, likewise the fourth; just so above, below, across; he dwells having suffused the whole world every way, with a mind of friendliness that is far-reaching, wide-spread, immeasurable, without enmity, without malevolence.
MettÄ adalah niat baik, cinta kasih, cinta universal; suatu perasaan persahabatan dan perhatian tulus terhadap semua makhluk hidup, manusia atau bukan manusia dalam segala situasi. Tanda utama mettÄ adalah niat baik: keinginan kuat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. MettÄ menundukkan kebencian dalam segala bayangannya: kemarahan, niat buruk, keengganan, dan dendam. Tidak adanya kemarahan, niat buruk, dan dendam maka kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat akan tercipta.
Berdasarkan SÄrÄņīyadhamma Sutta, AÅ„guttara NikÄya (Hare, 2001: 203) Buddha mengatakan kepada para bhikkhu bahwa apabila seseorang memiliki perbuatan, ucapan, dan pikiran yang disertai cinta kasih terhadap sesama, baik di depan atau pun di belakangnya. Hal tersebut yang membuat saling dikenang, dicintai, saling dihormati, dan menunjang untuk saling ditolong, untuk ketiada-cekcokan, kerukunan, dan kesatuan. Apabila seseorang memiliki cinta kasih tidak akan mungkin menyakiti orang lain, karena prinsip dari pengembangan cinta kasih adalah mengharapkan makhluk lain bahagia. Seseorang akan menolong, membantu, dan membuat orang lain bahagia. Menolong orang lain merupakan praktik cinta kasih, karena cinta kasih adalah sesuatu kekuatan aktif. Setiap tindakan mencintai yang dilakukan dengan pikiran tak bernoda untuk menolong, membantu, menyenangkan, membuat jalan orang lain mudah, lebih halus, dan lebih sesuai penaklukan kesedihan, adalah kebahagiaan tertinggi (Dhammananda, 2004: 242). Membahagiakan orang lain, maka seseorang akan merasa bahagia, karena orang yang melakukan perbuatan baik akan mendapatkan akibat yang baik, sedangkan orang yang melakukan kejahatan akan menuai hasil dari perbuatan jahat. Berdasarkan Kitab Dhammapada, Khuddaka NikÄya (Norman, 2004: 19) dijelaskan bahwa: ”Not in the sky, not in the middle of the sea, not entering an opening in the mountains is there that place on earth where standing one might be freed from evil action.” Seseorang akan mendapatkan akibat dari segala sesuatu yang telah dilakukan baik atau pun buruk. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan mendapatkan kejahatan. Seseorang tidak dapat mengingkari sebuah akibat dari perbuatannya.
C. Cinta Kasih sebagai Landasan Kemajuan Batin
Cinta kasih adalah sifat luhur yang pertama dari empat macam sifat luhur (brahma vihÄra). Sifat luhur yang lain yaitu kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin. Keempat sifat luhur itu sering disebut pula sebagai keadaan tak terbatas (apamaññÄ). Pelaksanaan brahma vihÄra dapat membuat seseorang menjadi mulia atau suci dalam kehidupan sekarang. Pengembangan cinta kasih dapat membawa kehidupan suci bagi seseorang. Cinta kasih merupakan sifat luhur dalam Agama Buddha yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati (Wowor, 2005: 76). Cinta kasih dapat menghaluskan hati seseorang berarti dalam kehidupannya seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain. Seseorang akan terbebas dari rasa benci dan permusuhan.
Cinta kasih sangat diperlukan sebagai dasar mengembangkan kesucian seseorang untuk menciptakan masyarakat yang damai, maju, dan sehat (Walshe, 1996: 246). Prinsip dari cinta kasih adalah mengharapkan makhluk lain bahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, maka tercapai pikiran yang bebas dari kebencian. Pikiran yang terbebas dari kebencian berarti akan dengan mudah dapat mengembangkan pikirannya, karena kebencian adalah salah satu akar kejahatan yang dapat membawa seseorang menuju penderitaan. Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti melenyapkan akar kejahatan, maka kebahagiaan akan terwujud.
Cinta kasih merupakan salah satu objek meditasi. Seseorang dapat mengembangkan cinta kasih melalui meditasi cinta kasih. Seseorang melaksanakan meditasi cinta kasih harus mengembangkan cinta kasih kepada dirinya sendiri. Setelah seseorang mengembangkan cinta kasih kepada diri sendiri maka selanjutnya cinta kasih dikembangkan kepada orang-orang yang dihormati dan dihargai, orang-orang yang sangat dicintai, orang yang netral, dan kepada musuh (ÑÄnamoli, 1991: 290).Pada akhirnya cinta kasih dikembangkan kepada semua makhluk tanpa batas. Setelah batin seseorang terpusat kepada objek pengembangan cinta kasih maka batin akan menjadi tenang. Batin atau pikiran seseorang akan bebas dari kebencian. Terbebas dari kebencian berarti seseorang telah mengalami kemajuan batin.AţţhakanÄgara Sutta, Majjhima NikÄya (Horner, 2002: 16) menyebutkan bahwa:
… a monk dwell having suffused the first quarter with a mind of friendliness; likewise the second, likewise third, likewise the fourth; just s o above, below, across; he dwells having suffused the whole world everywhere, in every way, with a mind of friendliness that is for-reaching. He reflects on this and comprehends: ‘This freedom of mind that is friendliness, is also effected an thought out. But whatever is effected and thought out, that is impermanent, it is liable to stopping. Firm in this … the attains the matchless security from the bonds, not (yet) attained.
Kebebasan pikiran cinta kasih diakibatkan karena pertimbangan yang sangat kuat. Tetapi, kebebasan pikiran cinta kasih yang telah dicapai adalah tidak kekal. Kebebasan pikiran cinta kasih dapat mencapai pembebasan atau paling tidak mencapai tingkat kesucian AnÄgÄmi. AnÄgÄmi adalah tingkat kesucian di mana seseorang telah mematahkan lima belenggu batin, yaitu sakkÄyadiţţhi (pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa yang kekal), vicikicchÄ(keragu-raguan terhadap Buddha dan ajaran-Nya), silabataparÄmÄsa (kepercayaan pada upacara atau ritual dapat membebaskan manusia dari penderitaan),kÄmarÄga (nafsu indera), dan paÅ£igha (keinginan tidak baik) (Davids, 1992: 31). Seseorang mencapai tingkat kesucian AnÄgÄmi tidak akan terlahir kembali di alam manusia.Pengembangan cinta kasih akan membebaskan pikiran dari kebencian dan rasa permusuhan. Kebencian adalah salah satu akar kejahatan yang dapat membawa seseorang ke penderitaan. Apabila seseorang mengembangkan cinta kasih telah menjauhkan diri dari penderitaan, dan kebahagiaan akan tercapai. Kebahagiaan yang dicapai tidak hanya kebahagiaan pada kehidupansaat ini tetapi kebahagiaan di kehidupan yang akan datang. Seperti yang disebutkan dalam manfaat mengembangkan cinta kasih (Woodward, 2003: 219), meskipun seseorang belum mencapai Arahat tetapi dapat mencapai atau terlahir di alam BrahmÄ. Terlahir di alam BrahmÄ adalah suatu bukti bahwa kebahagiaan dari pengembangan cinta kasih tidak hanya terwujud pada kehidupan saat ini tetapi di kehidupan yang akan datang.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai “Posisi Ajaran Cinta Kasih dalam Agama Buddha”, dapat disimpulkan, bahwa:Cinta kasih merupakan keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali, yang sering dikatakan sebagai niat suci untuk mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain. Cinta kasih merupakan sebuah kekuatan yang tidak hanya membawa kebahagiaan kepada para pelakunya, tetapi juga untuk para makhluk di sekitarnya. Hal tersebut dapat terjadi karena pengembangan cinta kasih ditujukan kepada semua makhluk tanpa kecuali. Sedangkan objek pengembangan cinta kasih yaitu: pertama kali cinta kasih dipancarkan kepada diri sendiri, setelah itu cinta kasih dipancarkan kepada orang-orang yang dihargai dan dicintai, orang netral, dan musuh. Pengembangan cinta kasih pertama kali harus ditujukan kepada diri sendiri, karena untuk dapat mengembangkan cinta kasih kepada orang lain atau makhluk lain harus memiliki cinta kasih kepada diri sendiri terlebih dahulu.
Ajaran cinta kasih memiliki posisi yang amat penting dalam agama Buddha. Cinta kasih apabila dikembangkan dengan baik, maka akan menciptakan keharmonisan di alam semesta, yaitu keharmonisan antara manusia dengan binatang, binatang dengan tumbuhan, tumbuhan dengan manusia, atau bahkan keharmonisan antara makhluk satu dengan makhluk yang lain, misalnya makhluk yang tidak tampak (setan, dewa). Hal tersebut dikarenakan cinta kasih dipancarkan tidak hanya kepada sesama manusia tetapi kepada semua makhluk yang ada di alam semesta. Semua penghuni alam semesta saling membutuhkan dalam menjalani kehidupannya, sehingga cinta kasih sangat diperlukan. Selain sebagai landasan keharmonisan, cinta kasih dapat berfungsi sebagai landasan kemajuan batin. Cinta kasih merupakan salah satu objek meditasi. Melalui meditasi seseorang dapat membebaskan kebencian dalam batin, sedangkan kebencian adalah salah satu akar dari kejahatan. Jika seseorang membebaskan kebencian dari batinnya, maka batinnya telah mengalami kemajuan. Dengan adanya kebebasan pikiran cinta kasih dapat membawa seseorang mencapai tingkat kesucian AnÄgÄmi dan merupakan latihan tahap awal yang dilaksanakan manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (nibbÄna).
SUMBER:
Bogoda, Robert. Tanpa Tahun. Hidup Sederhana Hidup Bahagia. Terjemahan oleh Ida Dhammashanti. 2003. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Davids, T.W Rhys. (Ed). 1972. PÄli-English Dictionary. London: The Pali Text Society.
Davids, Rhys C.A.F. 1915. Encyclopedia of Religion and Ethics. Edinburg: T. & T. Clancle.
Davids, Rhys dan William Stede. 1992. The Pali Text Society PÄli-English Dictionary. Oxford: The Pali Text Society.
Dhammananda. Tanpa Tahun. Keyakinan Umat Buddha. Tejemahan oleh Ida Kurniati. 2004. Jakarta: Yayasan Penergit Karaniya.
Dhammasugiri. 2004. Konsep Cinta dalam Agama Buddha. Majalah Dhammacakka, hlm. 19-24.
Hare, E.M. (Ed). 2001. The Book of the Gradual Saying, vol III (AÅ„guttara NikÄya). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2001. The Book of the Gradual Saying, vol IV (AÅ„guttara NikÄya). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2001. The Book of The Discipline, vol. IV (Suttavibhańga). Oxford: The Pali Text Society.
Janaka. Tanpa Tahun. MettÄ Bhavana. Terjemahan oleh Samuel B. Harsojo. 2003. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit.
Norman, K.R. 2001. The Group of Discourses (Sutta-NipÄta). Oxford: The Pali Text Society.
__________. 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali Text Society.
Ñanasamvara. 2001. SÄ«la-Kemoralan. Dhammasakaccha, hlm. 20-36.
ÑÄnamoli. (Ed.). 1991. The Path of Purification (Visuddhimagga). Sri Lanka: Buddhist Publication Society.
Sivaraksa, Sulak. 1992. Benih Perdamaian. Terjemahan oleh Ken Ken dkk. 2001. Jakarta: HIKMAHBUDHI.
Walshe, M. O’C. 1996. Buddhism and Sex. Kandy: The Wheel Publication No. 225.
Woodward, F.L. (Ed.). 2003. The Book of Gradual Saying, vol. V (AÅ„guttara NikÄya). Oxford: The Pali Text Society.
Wowor, Cornelis. 2005. Pandangan Sosial Agama Buddha. Semarang: Vihara Tanah Putih.
oleh PP MAGABUDHI | Jan 29, 2013 | Kegiatan MAGABUDHI
Pada hari-hari belakangan ini, mungkin para pembaca sedang sibuk ikut memilih ketua RT atau ketua RW, Bupati atau bahkan sedang memilih Gubernur di tempat anda tinggal (seperti di Jawa Barat). Begitu pun di kantor, mungkin juga sedang memilih calon pimpinan perusahaan yang baru, setelah yang lama pensiun.
Secara umum, orang yang akan kita pilih sebagai pemimpin adalah orang yang kita kenal, kita tahu asal-usulnya, tahu karakternya, calon pemimpin itu haruslah orang yang mempunyai kemampuan (kapabilitas) atau orang yang bisa diterima oleh semua pihak (akseptabilitas).
Dua kriteria ini yaitu kapabilitas dan akseptabilitas, sangatlah penting dan mendasar, dan di dalam hati kita tentu saja sangat mengharapkan bahwa idealnya, calon yang kita ajukan minimal memiliki dua prasyarat tersebut.
Kalau di dalam ketentaraan, mungkin syarat utama sebagai pemimpinnya adalah orang yang mahir menembak, berpengalaman terjun payung atau mempunyai keahlian lainnya seperti misalnya ahli di bidang intel atau orang yang pandai ilmu bela diri. Begitu juga pemimpin pengeboran minyak di lepas pantai misalnya, yang dipilih biasanya adalah orang yang ahli di bidang itu (capable), dan bukan orang yang pandai bergaul seperti kita mencari seorang penyelia/supervisor.
Lain lagi kalau yang dibutuhkan adalah pengurus RT/RW, mungkin yang penting adalah orangnya bisa diterima oleh semua kalangan (acceptable). Sedangkan kemampuan dia untuk memanajemeni orang lain dan kemampuan lainnya seperti, bagaimana cara berbicara di depan umum dengan baik atau memimpin berbagai kegiatan, itu bisa dilatih nanti (kemudian).
Dua kriteria itu populer! Tapi selama ini saya melihat, di dalam organisasi sosial, ada satu prasyarat lagi yang menurut saya malahan lebih utama, sehingga saya mengusulkan agar ke depan, hal ini hendaknya diperhatikan, yaitu tingkat keberadaan pemimpin tersebut (availabilitas). Sebab, betapa mampu dan disukainya pun pemimpin tadi, tapi kalau tidak pernah hadir di tengah-tengah kita, ya sama juga bohong! Alias namanya saja ada tapi orangnya entah di mana? Maka bagaimana mungkin dia akan mengkoordinir segala pekerjaan, bagaimana bisa mengarahkan serta membimbing kita semua? Untuk itu, bila perlu sejak awal tanyakan dulu kesanggupannya/kesediaannya untuk bekerja sosial bersama kita, secara sungguh-sungguh dan bukan basa-basi semata.
Sampai di sini saya menulis, terhenti sebentar, saya menerima telpon dari kawan saya yang bercerita bahwa dia baru saja ketemu dengan seorang teman yang berganti baju, alias pakai seragam majelis lain atau pindah jalur! Maka saya merasa perlu untuk menambahkan satu syarat lagi bagi para calon pemimpin, yaitu adanya kesetiaan yang tinggi (loyalitas) terhadap perusahaan atau organisasi.
Demikianlah, semoga availabilitas menjadi tekad kita semua, danloyalitas menjadi tabiat kita yang sejati, demi terciptanya satu pengabdian yang benar-benar tulus dan bukan disertai pamrih!
Semoga para pembaca buletin/web MAGABUDHI ini senantiasa sukses dan berbahagia di dalam lindungan Tiratana, selamat mengabdi dengan tulus dan tiada henti, dan semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Jakarta, 2 November 2012, oleh: PMy. Upasanto Suwarto Atjing.